Cari Blog Ini

"WORDS CAN CHANGE ANYTHING"

Hidup ini singkat. Tidak ada waktu untuk meninggalkan kata-kata penting tak terkatakan. -Paulo Coelho-

Rabu, 01 Desember 2010

BERKAH TRADISI POTONG KURBAN IDUL ADHA

Oleh : Yusi Adistya

Tepat pada tanggal 17 November 2010 yang lalu, segenap umat muslim di Indonesia merayakan Hari Idul Adha. Seperti halnya perayaan Idul Fitri, hari besar ini diperingati setiap tahunnya untuk menyucikan diri terutama bagi orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji. Maka tak heran jika Idul adha sering juga disebut lebaran haji yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah.
Ada hal yang menarik dalam peringatan lebaran haji tahun ini. Untuk sekian kalinya terjadi lagi perbedaan penetapan hari raya Idul Adha. Perbedaan jatuhnya hari raya Islam itu melalui penggunaan kalender bulan atau kelender matahari.
Kalender bulan atau komariah biasanya menghitung penanggalan berdasarkan rotasi bulan yang terjadi terhadap bumi. Perhitungan ini cenderung berubah karena rotasinya tidak selalu sama. Berbeda dengan perhitungan kelender masehi yang menggunakan revolusi matahari sebagai patokan penghitungan tanggal.
“Masyarakat Indonesia biasanya menggunakan perhitungan kalender bulan untuk mengetahui tanggal pasti lebaran,” kata Darmawan, salah seorang warga Pandeglang. Penetapan tanggal pasti dilaksanakannya Idul Adha berdasarkan pertimbangan bersama dan penampakan hilal atau bulan sabit baru pada setiap daerah di Indonesia. Namun, untuk tahun ini ada perbedaan persepsi terhadap kesepakatan tanggal pastinya.
Darmawan menjelaskan bahwa umat Muhammadiyah menggunakan pertimbangan hilal yang dapat terlihat di atas ufuk atau belum. Hal itu berdasarkan prinsip wujud di sebagian wilayah diberlakukan untuk seluruh wilayah di Indonesia. Sama halnya yang digunakan oleh pemerintah di Arab Saudi, yang menggunakan metode pertimbangan hilal untuk setiap perayaan hari raya Islam.
Meskipun begitu, Darmawan mengakui bahwa pada umumnya masyarakat sendiri lebih sepakat pada ketentuan pemerintah. Pemerintah Indonesia secara tegas mengatakan 10 Dzulhijjah bertepatan pada 17 November 2010. “Saya hanya mengamati lewat pemberitaan dan diskusi dengan ulama setempat. Sisanya bisa diserahkan pada persepsi masyarakat, sekalipun sering berbeda,” tegasnya.
Walaupun ada dua versi yang berbeda, sebagian masyarakat lebih memilih mengikuti keputusan pemerintah saja khususnya warga Kampung Tenjolaya Hilir Kabupaten Pandeglang. “Saya mah ikut pemerintah saja deh, takut salah,” ujar Lilis, warga Kampung Tenjolaya saat diwawancarai.
Ibu dua anak ini mengaku hanya ingin mengikuti keputusan pemerintah karena dianggapnya keputusan tersebut lebih jelas dan pesti. Selain itu, penanggalannya pun selalu sesuai dengan kelender yang ia miliki di rumah. “Jadi, yang pasti-pasti saja,” katanya sambil tersenyum simpul.
Memang, perbedaan tersebut terkadang menjadi polemik bagi umat muslim sendiri. Namun, perbedaan itu tidak menjadikan masing-masing penganut kepercayaan menjadi terpisah. Satu sama lain saling menghargai keyakinan dengan asumsi bahwa Islam adalah satu.
Sesuai dengan tradisi, umat muslim merayakan Idul Adha yang memiliki cukup harta dianjurkan untuk mengorbankan hewan ternak sebagai bentuk ungkapan rasa syukur. Hewan ternak tersebut kemudian disembelih dan dagingnya dibagikan kepada orang-orang kurang mampu. Maka tak heran jika Idul Adha ini juga biasa disebut sebagai Idul Kurban.
Hewan ternak yang bisa dikurbankan antara lain sapi, kerbau, unta, dan kambing. Tradisi potong kurban ini telah diwariskan secara turun temurun. Hewan yang dikurbankan telah ditentukan dalam kitab suci Al-Qur’an. Berhubung di Indonesia jarang sekali ditemukan unta, maka hewan yang dikurbankan hanya sapi, kerbau dan kambing.
Pemotongan hewan kurban yang juga dilakukan oleh masyarakat Kampung Tenjolaya cukup menyita perhatian. Untuk kurban tahun ini terdapat seekor kerbau dan lima ekor kambing. Kerbau dikenakan pada tujuh orang pengurban dan hanya seorang untuk satu ekor kambing. Syarat dan ketentuan ini telah sah termaktub dalam hukum Islam.
Pengurban pun tidak sembarangan orang, begitu pula dengan syarat orang yang mendapatkan kurban. Agama Islam telah mementukan siapa-siapa saja yang berhak mengurbankan dan menerima kurban. Hal ini membuktikan keteraturan yang sangat dijaga ketat oleh ajaran hukum Islam.
Setelah menunaikan shalai Ied bersama di Masjid Al-Hidayah, potong kurban pun dilaksanakan. Penyembelihan di Kampung Tenjolaya Hilir dipimpin oleh KH. Ahmad Zainuddin, tokoh masyarakat setempat. Lelaki berkopiah putih ini melangkah menuju tempat penyembelihan diikuti warga lain yang telah siap di pelataran masjid.
Hery Heryawan, sekretaris pemuda Kampung Tenjolaya, mengumumkan kepada masyarakat bahwa penyembelihan kurban akan segera dilaksanakan. Pengumuman disampaikan melalui pengeras suara yang ada di masjid. Informasi yang terdengar cukup jelas menggema di tengah kumandang takbir yang bersahutan.
Dalam waktu yang singkat, masyarakat pun berdatangan ke lokasi yang telah diberitahukan sebelumnya. Mereka membawa kupon jatah kurban sebagai bukti bahwa masing-masing memiliki hak untuk menerima kurban. Panitia sengaja mengatur pembagian kupon agar masyarakat dapat terdata dengan baik guna menghindari penerimaan jatah berlebih.
Pada saat prosesi penyembelihan, kerbau yang berwarna abu-abu terbaring pasrah di atas tanah. Setelah membaca doa, KH. Zainuddin memotong urat nadi kerbau tersebut dengan sebilah golok yang telah diasah setajam mungkin. “Mata pisau memang harus tajam untuk mengurangi rasa sakit bagi hewan yang disembelih,” ujar pria berbusana koko ini dengan mantap.
Suasana mencekam langsung mewarnai ritual yang terjadi di kebun bambu milik salah seorang warga. Terlebih ketika kerbau terdengar mengerang kesakitan dan darah segar mulai mengalir dari lehernya. Darah tersebut merembes ke sebuah lubang tanah yang telah disiapkan panitia. Hal serupa juga dialami oleh empat kambing berikutnya.
Angin semilir bertiup mengiringi teriakan kambing yang mati satu persatu. Suasana yang semula hening, dikejutkan oleh suara kambing terakhir yang begitu menyayat hati. Orang-orang yang datang menyaksikan ritual ini tampak terperangah. Ada pula yang menutup mata kerena ngeri. Sungguh pemandangan yang memilukan mengingat hewan tersebut rela menjadi kurban karena perintah Sang Illahi.
M. Yunus, ketua RT 01 saat diwawancara mengatakan bahwa tradisi potong kurban ini dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan Nabi Ibrahim yang konon menyembelih anaknya, nabi Ismail. Namun Allah SWT kemudian menggantinya dengan seekor kambing. “Darah hewan kurban juga bisa menyucikan orang-orang yang telah berkurban,” tambahnya.
Kisah kenabian Ibrahim memang menjadi salah satu penguat tradisi potong kurban. Untuk mempersembahkan kecintaannya pada Sang Khalik, Nabi Ibrahim rela mengorbankan anak lelakinya, Ismail. Begitu mata pisau mengiris leher anaknya, Allah SWT dengan keagunganNya mengubah ismail menjadi kambing. Maka, tradisi kurban inilah kemudian diwariskan dari generasi ke generasi, begitu cerita M. Yunus.
Setelah menyelesaikan tugasnya, KH. Zainuddin segera pamit karena harus menyembelih kurban juga di kampung tetangga. Pria yang genap berusia 78 tahun ini memang selalu dipercaya menjadi pemotong kurban dari tahun ke tahun. Kepiawaiannya mengedalikan hewan kurban serta kefasihannya dalam membaca doa diakui oleh masyarakat sekitar.
Enam kurban telah berhasil disembelih, giliran orang-orang yang bertugas sebagai panitia pembersih untuk membagikan daging ke dalam potongan kecil. Badan hewan-hewan kurban itu digantung dengan kepala menghadap ke tanah. Kulit kerbau dan kambing tersebut disayat untuk memudahkan pemotongan. Mencium bau amis yang menyengat, segerombol lalat berdatangan menghampiri. Tanah lapangan menjadi merah bersimbah darah.
Salah seorang panitia bernama Tb. Eping, menuturkan bahwa daging kurban tersebut akan dibagikan kepada seluruh lapisan masyarakat Kampung Tenjolaya Hilir. Ia juga menjelaskan pembagian daging akan dibagi rata. Daging dan tulang diimbangi dengan jeroan untuk setiap jatah. “Jumlahnya satu kilogram untuk satu kepala keluarga”, ungkap pria beruban ini seraya menyeka peluh di dahi.
Tb. Eping dengan lincah mengatur letak daging yang telah dicincang untuk memudahkan penimbangan. Daging yang telah berukuran kecil dikumpulkan di atas lembaran daun pisang. Potongan daging tersebut akan segera dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam. Tim penimbang telah siap mengukur berat daging dengan alat timbangan. Berpuluh kantong disusun untuk dilakukan penghitungan.
Proses penyembelihan berlangsung selama dua jam. Warga yang datang tampak asyik menyaksikan kegiatan ini walau sambil menjaga jarak. Bau amis memang cukup menusuk hidung dan bisa membuat mual. Tapi sebagian tampak ikut membantu panitia yang terlihat kewalahan. Anak-anak yang ikut menonton cukup terhibur oleh pajangan kepala kerbau di atas tanah. Mereka menyentuh kepala hewan kurban tersebut dan memainkan tanduknya.
Suasana mulai ramai oleh lalu lalang panitia yang sibuk mendata jumlah kepala keluarga dalam daftar. Beberapa orang mulai mengambil jatah sesuai absen dan kupon yang telah dibagikan sebelum hari raya. Hery dibantu Erwan, pengurus Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) dengan sigap mengatur barisan antrian warga yang tak sabar menerima jatah daging.
Setelah selesai membagikan daging kepada warga, panitia membereskan peralatan dan membersihkan sisa-sisa darah yang menempel di alat timbangan. Tak berapa lama, tetesan hujan membasahi kebun bambu itu. orang-orang mulai berlarian mencari tempat untuk berteduh. Walau tak lebat, gerimis cukup membuat area kebun menjadi basah dalam sekejap.
Genangan darah hewan kurban tersapu aliran hujan dan hanyut menuju parit di ujung kebun. “Hujan kali ini berkah lebaran, alhamdulilah…,” cetus Mimih, warga yang ikut berteduh di bawah atap saung. Senyum tersungging di bibirnya, diwarnai bisik-bisik warga lain yang terpaku memandangi guyuran air dari langit.
Mimih bercerita tentang suasana lebaran yang selalu dibasahi tetesan hujan. Ia menganggap tetesan hujan tersebut adalah sebuah keberkahan karena bumi tidak menjadi gersang. Hal ini kerap terjadi sehingga ia terharu dibuatnya. Daging jatah untuk keluarganya tampak tergenggam erat di tangan. Bukti bahwa dirinya sedang mensyukuri nikmat yang ada.
Tak sedikit warga yang ikut berteduh, karena hujan mulai semakin deras. Pemandangan yang cukup menggugah hati melihat kebersamaan yang terjalin di antara warga Kampung Tenjolaya tersebut. ternyata Idul Adha kali ini begitu memiliki makna berbeda dibandingkan lebaran kurban tahun-tahun sebelumnya. Indahnya kebersamaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar