Cari Blog Ini

"WORDS CAN CHANGE ANYTHING"

Hidup ini singkat. Tidak ada waktu untuk meninggalkan kata-kata penting tak terkatakan. -Paulo Coelho-

Rabu, 29 Desember 2010

DENYUT NADI POLITIK KAMPUS

Oleh: Ninis Chairunnisa

Pertarungan untuk memperoleh kekuasaan, pergulatan menjadi petinggi negeri dan perang menjadi yang terpilih. Itulah kurang lebih politik negeri ini. Politik dan dinamikanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari setiap nadi kehidupan bernegara. Di negara manapun kita tinggal, aura perpolitikan pasti terasa dengan masing- masing ciri khasnya. Jika mengaku sebagai warga negara, tidak boleh ada yang anti terhadap politik beserta teman-temannya.
Politik tentu tidak hanya menjadi permainan di bidang kenegaraan, karena politik bisa disebut sebagai seni yang sifatnya aplikatif di berbagai bidang. Jadi, bidang manapun bisa dimasuki politik selama masih mengandung unsur strategi dan kepentingan. Unsur tersebut terkandung di dalam dunia kampus. Terlebih, banyak orang yang menyebut kampus sebagai miniatur negara.
Panasnya politik di kampus tidak kalah dengan panasnya politik di negara. Malah terkadang lebih panas karena ketidakstabilan diri dari para pelaku politik kampus. Bagaimanapun, para pelaku politik kampus adalah mahasiswa- mahasiswa yang masih dalam tahap pra dewasa. Masa dimana masih bisa digoyang dan diubah pendiriannya alias labil.
Selayaknya di negara, kampus pun punya struktur formal keorganisasian seperti negara yang punya presiden, dewan perwakilan, menteri dan gubernur bahkan bupati. Untuk mengisi posisi di struktur keorganisasian, di kampus pun dilakukan pesta rakyat yaitu pemilihan umum. Layaknya pemilihan umum di negara, ada partai- partai politik yang mengusung calon- calon ketua, mulai dari ketua BEM pusat (Presiden Mahasiswa), ketua BEM fakultas (Gubernur) hingga ketua HIMA jurusan (Bupati). Jika ada yang diusung partai, berarti ada juga yang diusung personal alias calon independen. Bagaimana chance-nya?
Calon perseorangan atau yang lebih dikenal dengan calon independen adalah calon yang tidak diusung oleh pihak manapun melainkan dicalonkan oleh diri sendiri ataupun oleh perseorangan yang tidak terikat partai politik. Calon independen sering diidentikan dengan kesucian dari kepentingan yang dapat menunggangi, seperti kepentingan partai.
Oleh karena itu, calon independen dipandang dapat menjaring aspirasi rakyat sebersih- bersihnya dan sejujur- jujurnya. Sebaliknya, calon yang diusung partai politik dianggap kotor karena ditunggangi oleh kepentingan partai politik bersangkutan. Namun pada kenyataannya, justru seringkali calon dari partai politik yang menang. Hal ini bukan hanya berlaku di tataran kampus, tetapi juga di negara.
Memang tidak semua kampus memiliki partai politik kampus, namun ada wadah serupa dengan partai politik yang mampu mengusung calonnya. Wadahnya bisa berbentuk organisasi luar kampus, komunitas ataupun kumpulan- kumpulan kecil seperti kelas. Wadah- wadah inilah yang biasanya menjadi penyokong terkuat bagi calon untuk bisa duduk di singgasana ketua.
Karena wadah terdiri dari banyak orang yang bersatu atas satu tujuan, maka orang- orang tersebut akan mudah untuk digerakkan dan diarahkan sesuai dengan amanat organisasi. Jika organisasi menghendaki anggotanya untuk mendukung salah satu calon, maka akan dipatuhi oleh semua anggota.
Satu organisasi akan satu suara. Memegang satu oraganisasi berarti memegang semua orang yang ada si dalamnya. Inilah yang menjadi sebab mengapa calon yang diusung suatu wadah ( baca : parpol) punya chance lebih banyak untuk menang. Karena mereka memiliki banyak sumber daya dan massa pengikut. Banyaknya orang ini sangat berpengaruh pada jumlah suara yang masuk, jumlah tim sukses bahkan pada jumlah dana kampanye. Apalagi jika wadah bersangkutan telah menorehkan sejarah panjang dalam dinamika politik kampus.
Mereka akan lebih paham membaca peta politik, strategi kampanye terbaik, budaya politik hingga trik lawan. Perencanaaan matang dapat disusun sedemikian rupa dan dieksekusi dengan rapi ketika hari H. Belum lagi, ketika wadah- wadah tersebut memutuskan untuk membentuk koalisi. Posisi calon independen akan makin terdesak. Terutama jika si calon independen tidak punya cukup kekuatan untuk melawan atau setidaknya sekedar bertahan dari hantaman calon partai. Dari penyebutan pun, “satu organisasi melawan satu orang” , terasa sudah begitu timpang.
Sebaliknya, calon independen hanya memiliki dirinya sendiri untu menaikkan dirinya sendiri ke posisi tinggi. Bisa saja ia merekrut orang sebagai tim sukses, namun jumlah dan porsinya tentu akan jauh berbeda. Dalam hal permodalan pun, tidak dapat sepenuhnya disokong pribadi. Jadi, di tataran kampus sendiri, calon independen sering tidak sukses karena sebab- sebab tersebut. Terkadang, calon yang akan naik secara independen dilamar oleh suatu wadah untuk mendampingi calon yang akan diusung wadah tersebut.
Pada dasarnya, menjadi calon independen di tataran kampus tidak bisa digeneralisasi akan selalu gagal. Perbedaan budaya di setiap kampus akan punya pengaruh. Namun logika sederhananya, orang yang bergerak sendiri akan lebih sulit dalam melakukan sesuatu. Perlu tenaga ekstra untuk melakukannya. Mereka yang independen belum tentu punya idealisme tinggi dan benar- benar berpihak pada rakyat. Tidak sedikit yang mengaku independen padahal ada kepentingan yang menungganginya. Jadi, di dalam politik sebenarnya sangat sulit untuk menilai sesuatu. Karena segala sesuatu akan dipandang dengan penuh kecurigaan.
Apapun bisa terjadi di dunia politik. Kawan bisa jadi lawan, lawan bisa jadi kawan. Oleh karena itu, muncul istilah terkenal dalam dunia politik. “ Tidak ada kawan dan lawan abadi dalam dunia politik “. Sehari- hari, bisa kuliah dan diskusi bersama bahkan makan siang bersama di kantin dengan akrab. Tetapi ketika telah masuk masa perpolitikan memanas, sekedar menyapa pun menjadi hal yang sulit dilakukan. Lepas dari masa itu, kembali seperti sedia kala.
Independen dan idealis tidak sama. Idealis bisa dimiliki siapapun, bahkan wajib dimiliki oleh mahasiswa. Karena mahasiswa adalah orang yang paling idealis sedunia. Independensi bukan hal yang bisa dinilai oleh diri sendiri, tetapi hanya bisa dinilai oleh orang di luar diri sendiri. Karena bukti independensi adalah keberpihakan terhadap publik. Jadi, hanya publik yang berhak menilainya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar