Oleh Ninis Chairunnisa
Sebagai orang yang berstatus mahasiswa, sudah selayaknya bagi saya untuk melaksanakan kuliah serta mengerjakan berbagai tugas yang mengiringinya. Sekitar 5 bulan lalu ketika masih semester 4, saya dan kawan- kawan di kelas mendapat tugas yang cukup menarik, tugas dari mata kuliah manajemen media massa. Saya katakan menarik karena tugas tersebut menuntut kami untuk mau berkorban habis- habisan, baik dari segi materil maupun non materil, dari segi pikiran maupun tenaga.
Tugasnya adalah kami harus membuat perusahaan media massa. Yang terpikirkan pertama kali oleh saya, apakah saya bisa merasakan seperti Surya Paloh? Atau mungkin Abu Rizal Bakrie? Jacob Oetama?
Nampaknya terlalu berlebihan. nyatanya kami hanya harus membuat produk media massa cetak yang proses pembuatannya harus mengikuti prosedur sesuai teori yang diajarkan. Namun hal tersebut membuat saya berpikir ke arah lain, yaitu tentang orang- orang yang mempunyai perusahaan media massa tadi. Apa sebenarnya tujuan mereka memiliki perusahaan media massa ketika perusahaan- perusahaan mereka di bidang lain telah sangat menghasilkan? Sekedar menyicip bisnis di dunia media massa atau ada kepentingan lain? Akhirnya pikiran pun berkutat dalam wacana tersebut.
Kepemilikan atas media bukan isu baru di negeri ini. Sejak kebebasan atas pers diperoleh, siapapun punya kesempatan dan berhak untuk mendirikan perusahaan media massa. Tak perlu lagi syarat surat ijin usaha pendirian media massa atau semacamnya. Syarat utamanya cuma satu. Punya modal besar. Setelah itu, cukup rekrut orang untuk melaksanakan roda perusahaan sesuai keinginan si pemilik media massa.
Tujuan yang dibuat dalam pendirian media massa, akan menentukan bagaimana rupa produk media massa yang dihasilkannya. Berdasarkan tujuan yang dapat teridentifikasi, tujuan kepemilikan media massa bisa dibedakan menjadi tiga, yaitu atas dasar ekonomi, politik dan idealisme.
1. Ekonomi
Tujuan ini nampaknya sudah lazim menjadi tujuan manusia dalam kegiatan keprofesian yang dilakukannya. Si pemilik media fokus membangun media untuk memenuhi hasrat ekonominya berupa kelimpahan kekayaan. Apalagi kemajuan teknologi saat ini menuntut hadirnya banyak variasi media sebagai sumber informasi. Otomatis industri media bukan merupakan industri kecil- kecilan melainkan sudah menyangkut uang puluhan bahkan ratusan milyar rupiah. Industri media memang sangat menarik, dinamis dan menyimpan potensi tersendiri ( pemilik menjadi pemberitaan pers itu sendiri). Masalah pendapatanpun tidak main- main. Mungkin nantinya sang pemilik itu akan menurunkan kekayaannya kepada anak cucunya nanti. Yang jelas, mereka total untuk memperoleh relasi iklan sebanyaknya, menayangkan acara rating tinggi sebanyaknya dan mendapat penonton sebanyaknya demi kepentingan komersil.
2. Politik
Kalau sudah bicara politik rasanya orang akan berpikir tentang taktik atau strategi dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Begitulah ilustrasi yang didapat dari penglihatan saya dengan melihat berbagai perilaku politikus kita. Kebetulan saat itu sedang ada isu politik yang kembali hangat dibicarakan. Media massa menjadi salah satu alat mereka dalam membuat opini publik, menyampaikan kebijakan sampai menginformasikan program kerja. Namun, media massa pun bisa menjadi alat untuk memutar balik fakta demi melindungi diri. Saya pernah membaca sebuah cerita. Pada tahun 2003 di Thailand, seorang warga Thailand bernama Supinya harus berhadapan dengan perdana menteri Thailand saat itu, Thaksin Shinawatra di meja pengadilan. Atas berbagai tekanan, Supinya dituduh telah melakukan pencemaran nama baik dengan mengumumkan hasil penelitiannya yang berisi bahwa perusahaan telekomunikasi milik perdana menteri Thailand, Shin Coorporation lebih kaya hampir tiga kali lipat sejak Thaksin menjabat sebagai perdana menteri pada tahun 2001. Kasus ini seolah memberi gambaran bahwa orang yang memiliki kekuasaan atas media massa dapat dengan mudah menguasai isu, memutar balik fakta bahkan men-setting isu yang berkembang di masyarakat. Tujuan politik pun salah satunya digunakan untuk menjatuhkan lawan politiknya.
3. Idealisme
Entah masih ada atau tidak orang yang mendirikan media massa atas dasar idealisme. Orang yang benar- benar berniat menjunjung kebenaran yang bersih dan mengagungkan asas jurnalistik sebenar- benarnya. Tak tergoda oleh kepentingan materi atau politik. Hanya berniat memberi informasi yang faktual dan aktual demi kepentingan masyarakat. Kalupun ada, rasanya media tersebut akan termakan oleh kejamnya persaingan dengan media lain. Idealisme terkadang akan membatasi gerak seseorang atau lembaga dalam memperoleh akses yag lebih mudah. Oleh karena itu, menjadi orang atau lembaga yang idealis butuh mental super kuat.
Wacana ini masih berlanjut. Dalam berbagai kesempatan selama proses pembuatan tugas kami tersebut, seringkali dilakukan diskusi di dalam maupun di luar kelas menyangkut kepemilikan media massa dan hubungannya dengan content dan penyajian materi berita media massa tersebut. Hasilnya, muncul anggapan bahwa kepemilikan media oleh personal atau individu akan membawa kepentingan individu tersebut, baik dengan takaran sedikit atau banyak. Contohnya bisa dilihat dalam tayangan media televisi sehari- hari. Ada media yang sangat rajin membahas memberitakan organisasi yang diikuti si pemiliknya, ada juga media yang heboh memberitakan kasus lawan politik si pemilik media. Semua berkutat pada kepentingan yang dibawa oleh pemilik media. Para pegawai idealis rasanya harus mengucap selamat tinggal kepada pekerjaannya ketika ia memilih memegang teguh idealismenya.
Dalam setiap literatur yang menyangkut jurnalistik pasti akan disebutkan bahwa media massa yang baik adalah media massa yang memiliki independensi. Artinya tidak mendapat tekanan atau pengaruh kepentingan dari pihak manapun. Informasi yang sampai pada masyarakat adalah murni faktanya. Pada prinsipnya isi media akan membentuk isi kepala konsumennya. Artinya, apa yang ia lihat di media akan menjadi landasannya dalam bersikap terhadap suatu isu, apalagi kalau tayangan tentang isu tersebut intens disajikan. Jika faktanya dibelokan, masyarakat pun ikut belok. Menurut teori komunikasi jarum hypodermic yang digagas Wilburr Schram, masyarakat atau audience akan menerima apa saja yang diberikan (disuntikan) kepadanya. Media sebagai pihak yang aktif sedangkan audience sebagai pihak yang pasif.
Saya jadi teringat, pemimpin sekelas Napoleon Bonaparte pernah mengatakan bahwa ia lebih takut pada lima orang jurnalis dibandingkan seribu pasukan musuh. Hal itu karena Bonaparte menyadari bahwa kekuatan jurnalis (baca : media massa) bukan terletak pada fisiknya, tapi kemampuanya dalam membentuk opini publik melalui berita. Kekuatan tersebut merupakan kekuatan besar yang sanggup menjatuhkannya.
Wacana mengenai kepemilikan media massa akan tetap berkutat pada media massa, masyarakat dan kepentingan.
Cari Blog Ini
"WORDS CAN CHANGE ANYTHING"
Hidup ini singkat. Tidak ada waktu untuk meninggalkan kata-kata penting tak terkatakan. -Paulo Coelho-
Rabu, 01 Desember 2010
Media Massa, Masyarakat dan Kepentingan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar