Cari Blog Ini

"WORDS CAN CHANGE ANYTHING"

Hidup ini singkat. Tidak ada waktu untuk meninggalkan kata-kata penting tak terkatakan. -Paulo Coelho-

Rabu, 01 Desember 2010

DI PERBATASAN PANDEGLANG DAN LEBAK

Oleh : Yusi Adistya
Kabupaten Lebak, atau yang sering disebut Rangkas Bitung adalah salah satu daerah di Provinsi Banten. Lebak terletak di ujung timur Banten, berbatasan dengan kabupaten Pandeglang dan Bogor. Luas wilayahnya 304.472 Ha yang terdiri atas 28 kabupaten. Datarannya landai dan berhawa sejuk. Di daerah inilah, perjalanan pun dimulai.

Beberapa unit mobil berwarna biru berlalu-lalang di atas jalan raya Rangkas Bitung - Pandeglang. Angkutan kota atau yang sering orang sebut sebagai Angkot ini merupakan kendaraan umum andalan masyarakat Pandeglang. Selain harganya murah, aksesnya pun mudah didapat.

Saat tangan ini melambai memberi isyarat, sebuah angkot bernomor polisi A 1965 datang menghampiri. Tampak seorang lelaki separuh baya yang duduk di belakang kemudi menawarkan jasa transportasi seraya tersenyum. Tanpa pikir panjang, aku segera membuka pintu mobil dan duduk di sebelah supir.

Angkot jurusan Pandeglang-Rangkas itu terlihat masih lengang. Hanya ada beberapa penumpang yang duduk di bangku belakang. Di antaranya seorang lelaki tua dengan asap rokok yang mengepul dari bibirnya, kemudian dua orang siswi sekolah yang masih mengenakan seragam.
Roda angkot segera menggelinding di atas aspal yang keras. Mataku mulai menerawang ke sekeliling dalam mobil. Tampak gantungan hati yang bergoyang saat angkot melaju perlahan. Warnanya terlihat lusuh tertutupi debu jalanan, mungkin sudah lama tidak dicuci. Di atas dashboard terdapat jam meja yang menunjukan angka satu lewat lima menit. Dan ada botol air mineral di antara kaca spion dan kemudi.
Beberapa selang kemudian, angkot itu berhenti tepat di perempatan jalan Kadubanen. Saatnya menunggu kedatangan calon penumpang hingga mobilnya terisi penuh. Para calo biasa menyebut kegiatan ini dengan istilah ngetem. Calo adalah orang yang membantu supir kendaraan umum untuk mengumpulkan penumpang.
Tak banyak angkot yang ikut ngetem pula di sana. Jumlahnya ada lima unit mobil saja. Keramaian perempatan Kadubanen mulai terasa dengan suara klakson bis dan kendaraan lain yang berlalu lalang. Kadubanen merupakan tempat paling strategis yang menghubungkan jalur menuju Pandeglang, Serang, Rangkas dan Labuan. Oleh karena itu, pemerintah Pandeglang mulai membangun terminal di daerah ini.
Sementara para calo berteriak mencari penumpang ke berbagai arah. Aku mengawali perbincangan dengan supir angkot yang duduk di sebelah. Namanya Warta. Pria tersebut memiliki kumis lebat beruban yang kerap bergerak setiap kali dia berbicara. Dengan rambut yang hampir plontos di depan, Warta terlihat tiga tahun lebih tua dari usianya yang genap kepala lima. Garis pada pelipis dan jemarinya menandakan kerasnya hidup yang telah dilaluinya.
Obrolan ringan pun mengalir di antara kami. Tanpa ragu, Warta menceritakan kisah hidupnya selama tinggal di Jakarta. Dahulu, Warta tinggal bersama kakaknya yang bekerja sebagai supir peti kemas. Dari sinilah Warta dapat belajar mengemudikan mobil hingga akhirnya menjadi supir peti kemas seperti kakaknya. Dia menjalani harinya dengan mengantarkan bahan baku pabrik serta bahan makanan.
“Dulu sih kerja di Jakarta tuh enak, upah bawa barang kemana aja bisa mencukupi kebutuhan,” ujar Warta sambil menyalakan rokok. Menurutnya, pekerjaan menjadi supir angkot tidak selalu mendapatkan hasil karena sifatnya yang tidak tetap.
Tak lebih dari lima belas menit, angkot pun telah penuh oleh penumpang dari berbagai kalangan masyarakat. Kedatangan tiga siswi SMA berkerudung meramaikan suasana dalam mobil dengan gurauan dan cekikikan. Sebelum melanjutkan perjalanan, Warta menyerahkan sebagian setorannya ke pada seorang calo yang telah memberinya penumpang. Si calo menerima setoran tiga ribu rupiah sambil berlalu mencari calon penumpang.
Angkot melaju ke arah Rangkas Bitung membawa orang-orang dengan tujuan yang berbeda. Pohon-pohon berlarian seiring berputarnya ban mobil. Pemukiman sekitar diwarnai aktivitas warga yang beragam. Ada yang sedang berjualan, berjalan kaki, mengobrol dengan orang lain, atau hanya duduk-duduk di teras rumah. Suasana semakin sejuk. Tampak awan menggumpal menandakan akan turun hujan. Gelap. Kelabu.
Tiba di perbatasan antara Pandeglang-Rangkas, angkot berhenti menurunkan seorang penumpang. Satu hal yang unik yang kerap terjadi saat kita menggunakan jasa angkutan umum. Hanya dengan mengatakan “kiri” atau “pinggir”, kita dapat memberhentikan sebuah kendaraan umum. Secara harfiah, kata-kata tersebut adalah kode komunikasi yang disepakati bersama. Sehingga pemakaiannya lazim terjadi di masyarakat yang menggunakan kendaraan umum.
Di tengah perjalanan, Warta bercerita tentang hidupnya yang rumit. Dari bibirnya, Warta ialah seorang bapak yang harus mencukupi kebutuhan anak istrinya dengan setoran angkot setiap hari. Walaupun penghasilannya tak seberapa, namun dia tetap mencari rejeki dari jasa angkutan umum ini. “Yang penting, dapur masih tetap bisa berasap,” ujar Warta seraya tertawa renyah.
Pembicaraan kami terus berkembang, supir dua anak ini menjawab setiap pertanyaanku dengan yang apa adanya. Menurutnya, penghasilan sebagai supir angkot lebih minim dibandingkan penghasilan sebagai supir peti kemas. Namun, Warta harus kembali ke Pandeglang setelah menikahi Darsih pada tahun 1993. Di kota kelahirannya inilah dia menjadi supir angkot dengan jumlah setoran tujuh puluh ribu rupiah per hari.
Menurut Warta, dalam dunia angkutan umum, ada beberapa istilah yang dipakai oleh sesama calo dan supir. Supir Jejek, artinya supir yang hanya memenuhi penumpang hingga ke batas daerah ngetem. Sedangkan Supir Batangan, berarti supir yang melanjutkan perjalanan sampai ke akhir kota tujuan. Biasanya supir inilah yang bertugas menyetorkan hasil kerja selama seharian penuh.
Hari kian senja, angin bertiup menerbangkan debu dan dedaunan. Beberapa daerah telah dilalui oleh angkot dengan tulisan “permata” ini. Sabi. Wates. Pasir Tangkil. Sampai papan informasi lokasi Suku Baduy pun terlihat.
Tiba di daerah Warung Gunung. Sebuah pertigaan yang terkenal dengan karena seorang mantri. Ya, mantri Maman adalah orang yang cukup tersohor di daerah itu. Konon katanya, mantri Maman ini dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit hanya dengan sekali rawat jalan. Harga obatnya pun terbilang mudah dijangkau. Tentu saja kesohoran mantri ini mendatangkan banyak pasien dari berbagai tempat.
Tak terasa jalanan mulai menurun dan berkelok-kelok. Tampak tebing yang berdiri kokoh menghiasi pemandangan disandingkan dengan undakan sawah yang masih kehijauan. Pepohonan di kiri dan kanan jalan membuat daerah sekitar menjadi teduh. Sungguh panorama yang cukup memanjakan walau hanya sekejap mata.
Jalanan tampak ramai lancar. Dari arah berlawanan, tampak tiga unit truk mengangkut kelapa sawit yang siap diolah. Ketiganya berjalan perlahan karena keberatan oleh beban muatan. Terlihat miring ke kiri. Truk yang paling depan bertuliskan “keong racun” pada kaca depannya.
“Truk ini biasa membawa kelapa sawit dari Lebak untuk diolah menjadi minyak sayur,” Warta menjelaskan dengan santai. Rokok yang dihisapnya telah habis.
Selanjutnya, angkot berhenti tepat di depan seorang wanita lanjut usia yang memikul boboko berisi daun singkong. Boboko adalah tempat penyimpanan bahan makanan mentah yang terbuat dari anyaman bambu. Benda ini biasanya berbentuk bulat di permukaan dan persegi di dasarnya.
Wanita tua itu tersenyum pada Warta. Tampak gigi yang memerah karena mengunyah daun sirih. Kebiasaan orang tua pada zaman dulu. Istilahnya biasa disebut nyeupah. Warta segera menancapkan gasnya begitu si wanita menolak untuk naik angkot karena alasan sedang menunggu kerabat. Mobil pun kembali melaju.
Tak berapa lama, kami tiba di sebuah pom bensin ternama. Terlihat mencolok dengan papan berwarna merah. Lalu Warta mengendalikan angkot agar memasuki kawasan tersebut. memberi kode pada petugas untuk diisi bensin sejumlah tiga puluh ribu rupiah. Setelah membayar, kami melaju meneruskan perjalanan panjang ke arah timur.
Tanpa diduga, sebuah sepeda motor menyalip angkot yang kami naiki dari arah belakang. Spontan Warta menginjak pedal rem untuk menghindari kecelakaan. Beruntung, jarak antara angkot dan motor masih terbilang aman. Warta pun bersungut-sungut tidak jelas.
“Anak zaman sekarang, naik motor seenaknya aja. Padahal nyawa yang dipertaruhkan,” gerutu Warta. Dia pun menambahkan bahwa daerah ini sering terjadi kecelakaan. Terbukti dengan papan peringatan dari sebuah perusahaan jasa asuransi.
Perjalanan baru setengah dilalui. Gunung Karang terlihat menjulang dengan gagah ke angkasa. Gunung yang bertempat di Pandeglang ini terlihat sempurna dibalut awan dan terpaan sinar senja. Betapa indah ciptaan-Nya. Tak ternilai. Tak terbayar oleh uang sekalipun.
Tiba di sebuah pertigaan lagi, seorang anak kecil naik dengan seragam madrasah dan kerudung putih. Kemudian duduk di bangku belakang bersama penumpang lain. Saat berhenti di depan sebuah bangunan sekolah, anak itu memberikan ongkos sebesar lima ratus rupiah. “tarif jurusan Rangkas-Pandeglang ataupun sebaliknya memang minim neng,” ungkap Warta.
Ongkos dari Pandeglang menuju Lebak berkisar antara lima sampai enam ribu rupiah saja. Tarif untuk anak sekolah yakni lima ratus sampai seribu rupiah saja. Besaran ongkos ini berlaku di masyarakat untuk menarik perhatian penumpang. Murah meriah.
Butuh waktu empat puluh lima menit saja untuk sampai di pemberhentian terakhir, terminal Mandala. Satu hal yang cukup mengherankan, keadaan terminal ini terbilang sepi. Tak ada teriakan calo, ataupun pedagang asongan seperti yang sering terlihat di terminal kampus. Terminal Mandala tampak lengang, hanya ada beberapa mobil saja yang ngetem di pinggir kios-kios.
Di sisi terminal tampak kerumunan orang berjumlah lima orang di sebuah warung nasi. Ada tiga orang pria dan dua wanita. Kelimanya sedang asyik bercengkrama. Seorang pria bernama M. Yunus dengan ramah mempersilahkanku duduk di atas bangku kayu. Pria setengah baya yang berkumis dengan rompi jeans membaluti tubuhnya yang kekar.
Berdasarkan obrolan dengan orang-orang tersebut, nama Mandala sebenarnya adalah nama gedung bioskop yang terpat berada di kawasan tersebut. Bangunannya sederhana, tak sebesar gedung bioskop di kota-kota lain. Terlulis kata “MANDALA” di bagian atas. Akan tetapi, tak tampak kehidupan di sana. Memang, gedung bioskop ini telah lama tidak beroperasi sejak tahun 1985. Menurut kabar burung, pemiliknya tewas gantung diri di dalam gedung tersebut karena bioskopnya mengalami gulung tikar.
Menurut Bang Aziz, supir bis yang duduk di sebelah M. Yunus, terminal yang melayani 23 trayek ini merupakan terminal sementara. Walaupun sudah beroperasi selama dua puluh lima tahun, ada rencana pemerintah untuk memekarkan kawasan ini menjadi sebuah pusat perbelanjaan. Tahun 2011 akan dilakukan penataan ulang oleh bupati terpilih kebupaten ini. Dan terminalnya akan dipindahkan ke daerah Sampay-Warung Gunung.
Lebak dilintasi oleh jalur kereta api Jakarta-Merak. Menurt kabar, telah terjadi pembakaran stasiun Rangkas Bitung beberapa hari yang lalu. Dua puluh dua gerbong kereta api di stasiun Rangkas Bitung dibakar oleh orang tidak dikenal. “Katanya sih, udah ketangkep empat orang, di antaranya berprofesi sebagai tukang ojek, mantan pencopet dan seorang wanita pekerja seks komersial,” jelas M. Yunus.
Bapak dua anak ini pun menuturkan bahwa motif yang dilakukan oleh para pelaku adalah karena suruhan dari seseorang dengan imbalan yang cukup menggiurkan, dua puluh juta rupiah. Sungguh ironis, ternyata masih ada orang yang rela mengorbankan harga dirinya untuk berbuat hal tidak terpuji demi mendapatkan uang. Dan sampai saat ini, polisi masih mengusut kasus ini.
Di tengan percakapan kami, seorang ibu pemilik kios juga menceritakan tentang pengalaman hidupnya. Bu Rosiah, begitu nama wanita tersebut. Dia hidup sebagai single parent di daerah bernama Oteng.
Rosiah menjanda semenjak kematian suaminya karena sakit. Darah tinggi yang tak tertolong oleh pengobatan. Dia berangkat dari subuh untuk menjajakan penganan di terminal dan pulang pada petang hari. Kerutan di wajah menggambarkan lika-liku kehidupan yang telah dilaluinya.
“Saya usaha seperti ini biar anak-anak bisa tetap sekolah,” kata ibu dengan tiga anak ini. Kerudungnya melambai saat angin bertiup. “Walaupun sudah tua begini, saya ikhlas,” tambahnya.
Hari semakin gelap, tiba saatnya untuk pamit. Aku pulang menaiki angkot biru jurusan Pandeglang. Supirnya tampak lebih muda dari Warta. Mungkin berusia sekitar tiga puluh tahunan. Handuk kecil melingkar di lehernya, siap menyapu peluh.
Penumpang terlihat sudah cukup banyak sehingga angkot pun dengan cepat melaju tanpa harus mengetem terlebih dahulu. Orang-orang sekitar tampak sibuk mempersiapkan hari yang mulai petang. Lampu jalan mulai menyala menerangi jalan raya yang dilalui. Sorot lampu kendaraan menyilaukan pandangan.
Gerimis pun turun dengan perlahan. Membasahi jalan hingga terasa licin untuk dilalui. Supir dengan hati-hati mengemudikan angkot agar tidak selip. Suasana dalam mobil terasa hening. Tidak ada yang berbincang sekedar meramaikan suasana. Rata-rata sibuk memainkan ponsel atau memperhatikan jalanan yang mulai tak terlihat.
Aku beranjak turun di pemberhentian terakhir, yakni pasar Pandeglang. Pulang dengan pengalaman yang tak biasa. Ternyata ada kehidupan yang bisa menjadi inspirasi. Inilah sepenggal kisah di perbatasan Pandeglang dan Lebak.

1 komentar: