Oleh: Sylvia Septiningrum S.
Beragama adalah hak setiap orang. Dalam Islam, beragama dan menganut keimanan tidaklah dalam posisi keterpaksaan. Agama bukanlah ruang kosong yang tidak bisa ditelusuri dan hanya sekedar misteri, kecuali misteri Tuhan dan hal-hal yang telah dijelaskan oleh Tuhan itu sendiri.
Agama adalah ruang yang penuh dengan sisi yang niscaya bisa diungkap. Dalam memposisikan agama, jelas Islam bukanlah agama yang eksklusif, close-minded, tidak mau terbuka. Tapi, justru dalam Islam telah diperlihatkan dengan jelas bahwa manusia diturunkan dalam kondisi berbeda kulit, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dan tentu saja pemikiran, cara hidup sosial berbeda satu sama lainnya.
Manusia pada dasarnya layaknya seperti satu keping mata uang logam. Manusia menampakkan dua sisi yang selalu ada dalam jengkal hidupnya. Pada satu sisi manusia adalah manusia yang diciptakan Tuhan dengan kesendiriannya sebagai pribadi yang unik, berbeda satu sama lain. Di sisi lain, dalam menjalani kehidupan itu, manusia adalah mahluk yang secara sosial tidak mungkin lepas dari kehidupan bermasyarakatnya.
Firman Tuhan yang menekankan mengenai tidak adanya paksaan untuk memeluk agama (Islam) adalah satu indikasi bahwa hubungan antar manusia lebih dari pada sekedar hubungan kolektif, tapi lebih mengarah pada hubungan sosial. Manusia adalah mahluk Tuhan yang saling bergantung satu sama lain.
Kehidupan kolektif adalah salah satu aspek manusia. Kehidupan kolektif tidak akan pernah terlepas dari dinamika nilai personal dan pribadi. Ketika seseorang melakukan sebuah perbuatan, baik dalam rangka individual maupun kolektif, ketika saat itu pula dia sedang melakukan apa yang diwahyukan Tuhan. Maka, dalam Islam tidak ada sebuah pemikiran yang menisbikan perkara-perkara yang bersifat pribadi. Ada saling keterhubungan satu sama lain, serta menganggap urusan personal adalah sesuatu yang penting.
Negara dalam hal ini merupakan salah satu dasar instrumen sosial, yang kadang dalam aplikasi yang dijalankan selalu melebihi instrumen sosial lainnya dan bertindak sebagai pengayom, bahkan dalam konteks spiritualitas agama. Negara bisa sangat kuat dalam menentukan apa yang seharusnya dilakukan sebuah agama dan ajarannya. Padahal jelas sekali, antara agama dan Negara adalah sesuatu yang berbeda.
Dalam agama ada hal-hal yang bersifat pribadi dan tidak bisa dicampuri oleh siapapun, kecuali manusia itu sendiri dan Tuhan-nya. Hal ini menunjukkan bahwa antara agama dan Negara tidak bisa saling menyerap satu sama lain.
Agama tidak bisa terserap secara formal dalam hukum positif Negara, dan Negara tidak bisa mencampuri urusan personal dan individu dari setiap warga negaranya. Negara bisa saja berubah bentuk sesuai dengan konteks lingkungan yang berubah. Baik berubah secara model, karakter, dan juga bentuk dari Negara. Sementara itu, agama tidak memiliki karakter seperti itu. Agama berbeda tempat dengan Negara.
Maka, ketika ada upaya untuk membuat agama sebagai bagian dari Negara, upaya ini justru bisa menimbulkan sebuah kondisi yang kontradiktif. Jika keduanya dilekatkan, maka akan ada upaya dari Negara untuk menelusup jauh dan mendalam yang akhirnya akan mencapai titik personal dan pribadi dari setiap individu untuk tunduk pada aturan Negara. Ketika itu terjadi, maka bisa dipastikan agama akan berada pada sudut terkecil dari Negara, dari sudut kekuasaan dan titik nadir terendah dari hasrat ingin berkuasa dan saling menguasai.
Ketika agama menjadi Negara dan kekuasaan, wajar jika nantinya akan timbul saling rebut kekuasaan. Sebab ada nilai ideologis yang mampu menggerakkan semua orang untuk bersikap militan dan siap menjadi martir. Maka kita bisa menyimpulkan tidak ada bedanya antara agama dan Negara kalau kondisinya seperti itu. Sehingga akan timbul keyakinan bahwa agama adalah Negara dan Negara adalah agama.
Sebuah pemikiran yang keliru dan tidak mendasar. Dengan demikian, Negara akan sangat leluasa menguasai agama dan dijadikan senjata yang kuat untuk berkuasa. Seseorang yang berbeda pikiran dengan Negara dan tidak tunduk pada aturan Negara yang seharusnya bukan urusan Negara mengurusi hal itu, maka orang tersebut akan dianggap sebagai pembelot dan pengkhianat agama. Padahal senyatanya hal itu hanyalah urusan dari Negara itu sendiri, bukan menyangkut masalah agama.
Ketika kita berada dalam kondisi yang seperti itu, apa yang akan kita pilih? Ketaatan terhadap agama ataukah terhadap Negara? Sebab jika beda dengan Negara, maka akan dianggap beda dengan agama. Seseorang yang dianggap salah oleh Negara, maka penindasan akan menjadi legal dan bahkan mungkin dengan tindakan membunuh sekalipun.
Dalam pandangan Negara seperti ini, tidak salah kalau Negara membuat seseorang kehilangan hak untuk hidup. Karena beranggapan bahwa orang tersebut sudah keluar dari jalan agama. Tidak menjadi salah ketika ada sebuah kelompok yang dilindungi atas Negara (agama) bertindak membunuh kelompok lain yang berbeda pandangannya. Maka kesejahteraan seperti apa yang diinginkan oleh kita semua apabila kondisi yang terjadi adalah seperti itu?
Saatnya dalam kondisi menuju perbaikan ini, tak usahlah menjadi manusia yang mau diajak untuk dikotakkan, diseragamkan, dan menjadi warna yang mono (tunggal), serta menjadi “manusia paket” yang tidak bisa berfikir dan menentukan mana yang terbaik bagi kita semua.
Cari Blog Ini
"WORDS CAN CHANGE ANYTHING"
Hidup ini singkat. Tidak ada waktu untuk meninggalkan kata-kata penting tak terkatakan. -Paulo Coelho-
Rabu, 29 Desember 2010
AGAMA DALAM PENAFSIRAN KEKUASAAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar