Cari Blog Ini

"WORDS CAN CHANGE ANYTHING"

Hidup ini singkat. Tidak ada waktu untuk meninggalkan kata-kata penting tak terkatakan. -Paulo Coelho-

Senin, 20 Desember 2010

MENGULIK SUBSTANSI UUKEBEBASAN PERS


Oleh: Nurzahara Amalia
Orang tidak dapat membajangkan lagi sekarang, bagaimana sekiranja hidup kita ini, bilamana tidak ada surat kabar. (Parada Harahap “Kedudukan Pers Di Masjarakat” 1951)

Sekilas Sejarah Pers
Pasca kemerdekaan, pers di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bahkan banyak pengusaha yang membuka lahan usaha di bidang pers. Hingga detik ini ratusan bahkan mungkin ribuan pers yang tersebar se-Indonesia. Meski memang tidak bisa dipungkiri, bahwa orang Eropa lah, khususnya bangsa Belanda, yang telah “berjasa” mempelopori hadirnya dunia pers serta persuratkabaran di Indonesia. Masalahnya sebelum kehadiran mereka, belum pernah diberitakan adanya media masa yang dibuat oleh bangsa pribumi; Indonesia.
Di Indonesia, dunia pers semakin hangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo. Pemimpin ini dijuluki Nestor Jurnalistik yang menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat.
Medan Prijaji menyajikan tulisan-tulisan yang berani dan kritis, terbukti saat dituliskannya kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka suara juga adalah rakyat jelata alias kaum pribumi, bukan hanya kaum penjajah yang bisa membuka suara melalui pers. Hadirnya Medan Prijaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Seiring dengan bergantinya zaman ke zaman, pertumbuhan jumlah pers di Indonesia pun kian meningkat sampai terbentuklah peraturan yang memberikan kebebasan terhadap pers.

Penyalahgunaan UU Pers
Berdasarkan sejarah singkat pers tersebut, saya mengambil kesimpulan bahwa keberadaan pers memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Saya pun sependapat dengan pernyataan Parada Harahap di atas, bagaimana jadinya kita bila tidak ada pers di Negara ini. Masyarakat mungkin masih banyak yang buta aksara yang akhirnya menyebabkan buta ilmu pengetahuan dan buta segala macam informasi yang sedang terjadi. Jika demikian, saya pun tidak bisa membayangkan lagi apa yang akan terjadi dengan masyarakat kita. Karena melalui pers, kita akan tahu semua yang sedang terjadi saat itu pula. Lantas dengan demikian, peranan pers sangat penting bagi masyarakat.
Peraturan Undang-undang yang telah dibuat oleh pemerintah merupakan keputusan yang bijak. Pemerintah mengatur UU tentang kebebasan pers agar rakyat berhak bersuara mengaspirasikan pendapatnya. Pernyataan hukum tersebut tercantum dalam dalam UUD pasal 19, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat.
Apalagi sebenarnya, UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers telah memposisikan peran pers secara lebih baik dalam menegakkan HAM. UU Pers itu dengan tegas mengatakan bahwa, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Kemudian untuk menjamin kemerdekaan pers tersebut, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. UU pers juga mengatur untuk menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM serta menghormati kebhinekaan. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Berdasarkan peranan pers yang tercatat dalam UU tersebut terlihat sangat mulia, tapi melihat realitas saat ini, ada beberapa oknum yang justru menyalahgunakan kebebasan pers tersebut dengan mempublikasikan sajian informasi yang tidak mendidik moralitas, atau menyajikan berita berdasarkan kepentingan pribadi. Terutama dalam hal perpolitikan. Contohnya, ada beberapa media yang pro terhadap si A, sehingga selalu menayangkan berita si A dan anti terhadap si B. Padahal jelas-jelas telah tertera bahwa salah satu peran pers adalah untuk melakukan pengawasan yang berkaitan dengan kepentingan umum. Ironisnya, mungkin karena saking bebasnya, tidak ada lembaga sensor pemberitaan. Sampai-sampai berita yang tidak penting pun ditayangkan di media massa. Sehingga oknum yang tidak bertanggungjawab itu masih bebas memberikan informasi yang justru tidak memberikan manfaat bagi masyarakat. Saya melihat oknum dengan pandangan seperti itu sesungguhnya melihat peran dan fungsi pers tidak secara komprehensif, melainkan parsial.
Beberapa bulan yang lalu, saat pertemuan pimpinan Globe Media Grup dengan Presiden SBY di kantor kepresidenan, Presiden SBY menilai saat ini tidak ada lagi aturan-aturan yang dapat mengekang kebebasan pers di Indonesia. Presiden menyatakan, di Indonesia tidak ada lagi sensor terhadap pemberitaan sehingga pers seharusnya dapat lebih leluasa dan adil dalam memberikan informasi guna mencerdaskan masyarakat. Seyogyanya, pernyataan orang nomor satu di Indonesia ini dicerna dengan baik dan benar, bahwa pers diberi kebebasan agar lebih leluasa sehingga dapat memberikan informasi yang dapat mencerdaskan masyarakat. Yang perlu ditekankan adalah, kebebasan bukan untuk disalahgunakan, tetapi untuk didayagunakan sebaik mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar