Cari Blog Ini

"WORDS CAN CHANGE ANYTHING"

Hidup ini singkat. Tidak ada waktu untuk meninggalkan kata-kata penting tak terkatakan. -Paulo Coelho-

Rabu, 01 Desember 2010

Antara Cengkareng dan Curug

Oleh : Ninis Chairunnisa

Ini hari minggu. Hari yang disakralkan orang sebagai hari libur. Saya pun ingin merasakan hari itu sebagai hari libur. Hari dimana saya hanya melakukan hal yang saya inginkan.
Pagi di hari minggu kala itu cerah. Sangat cerah. Cocok untuk ibu rumah tangga yang hendak menjemur pakaian. Cocok pula untuk pedagang yang ingin berseliweran mencari rejeki. Kala jam di dinding rumah saya menunjukkan pukul 09.30 pagi, saya baru membuka mata. Dihadapkan langsung ke arah jendela kamar saya yang menghadap ke barat. Pantulan sinar matahari membias. Langit yang amat biru melukis angkasa dengan indahnya. Awan- awan bak kapas berjejer di atas sana seolah menyerap panas matahari pagi. Sayapun segera berjalan menuju kamar mandi untuk melaksanakan aktifitas bersih- bersih diri. Orang menyebutnya mandi. Sebab pukul 10.00, saya hendak melakukan perjalanan bersama seorang sahabat dekat saya di masa SMA. Katakanlah saya akan jalan- jalan. Tapi ternyata bukan sekedar jalan- jalan. Ibu saya memberi saya sebuah misi. Misi apa itu? Akan saya ceritakan kemudian.
Pintu rumah saya yang sudah berkali- kali diganti karena termakan usia berbunyi. Lebih tepatnya ada yang mengetuknya. Itu dia sahabat saya datang menjemput. Tak banyak membuang waktu, segera saya pakai sepatu dan mengikat talinya kuat- kuat. Menjinjing tas dan mengisinya dengan perbekalan untuk di perjalanan. Yap, saya berangkat.
Di depan gang rumah saya, saya dan sahabat saya yang bernama Rina menanti angkutan umum. Hari ini kami hendak menuju Cengkareng. Daerah yang saya yakin sudah dikenal oleh banyak orang. Mengapa Cengkareng? Karena sudah lama saya tidak singgah ke daerah yang menjadi perbatasan antara Kota Tangerang dengan Jakarta Barat itu. Dulu, saya sering datang ke Cengkareng untuk sekedar berkunjung ke tempat famili di Duri Kosambi atau mampir ke Plaza Cengkareng untuk belanja mata.
Berdekatan dengan Terminal Kalideres membuat Cengkareng mudah diakses. Dari rumah saya yang terletak di Curug, Tangerang, jarak Tangerang- Cengkareng dapat ditempuh dalam waktu sekitar 90 menit menggunakan angkutan umum. Sebagai rute permulaan, ada dua pilihan trayek. Naik angkutan umum sampai pertigaan Bitung baru naik bus jurusan Kalideres atau menunggu bus jurusan Kalideres yang lewatnya berperiode. Dari Kalideres sendiri, banyak pilihan angkutan umum yang bisa dinaiki menuju Cengkareng dan sekitarnya.
Di daerah saya, ada sebuah perusahaan angkutan yang melayani trayek Kalideres- Jasinga dan sebaliknya. Angkutan tersebut lewat di jalan raya depan gang rumah saya secara berperiode. Artinya, angkutan tersebut hanya lewat pada jam- jam tertentu. Jam di tangan saya menunjukkan pukul 10.30 siang, artinya masih butuh waktu sekitar 30 menit lagi untuk menaiki angkutan tersebut. Apa boleh buat, saya dan Rina harus rela menunggu untuk menghindari naik turun angkutan umum berkali- kali. Dan yang pasti untuk mengirit ongkos. Jika naik bus tersebut, saya hanya perlu membayar Rp. 7000,00 sampai kawasan Kalideres. Kalau naik trayek lain, ongkosnya jadi sedikit lebih mahal.
Tepat pukul 11.00 siang, bus yang kami tunggu akhirnya lewat juga. Wajah kami sumringah melihatnya ketika bus dengan nama armada Komara Putra tersebut melaju gagah dari kejauhan. Dua kondekturnya melambai- lambai menawarkan jasa angkutannya. Tentu saja kami segera membalas lambaian itu. Dan kami pun duduk manis di dalam bus yang tergolong sedang sepi penumpang. Indikatornya adalah tidak ada penumpang yang berdiri.
Saya duduk berjauhan dengan Rina. Dia di bangku paling depan sedangkan saya ada di bangku ketiga setelahnya. Tidak masalah. Setelah bus melewati daerah Kebon Nanas, saya yakin bus akan makin sepi penumpang dan saya bisa lebih memilih tempat duduk. Tepat seperti dugaan saya. Penumpang bus tersebut banyak yang turun di Kebon Nanas. Kebon Nanas memang merupakan tempat transit yang cukup strategis untuk menuju daerah- daerah lain. Dari sana, kita bisa menuju daerah Serpong dan sekitarnya, dimana dari Serpong kita bisa terhubung dengan daerah Bintaro dan Bogor. Oleh karena itu, bertebaran bus- bus ukuran tiga perempat jurusan Bogor. Bus- bus besar tujuan Jakarta pun bertebaran. Berbagai armada bus siap mengantar penumpang menuju tempat tujuan masing- masing. Kita tinggal tengok tulisan tujuan yang biasanya ada di kaca bagian depan dan belakang bus. Jika kita ingin menuju Pasar Senen kita bisa naik bus nomor P100 atau P77 jika ingin sembari melewati daerah Slipi. Bus jurusan Bekasi atau Pulogadung pun menyempatkan diri melewati kawasan yang selalu ramai tersebut.
Bus Komara Putra yang saya naiki lekas melaju kembali seusai menurunkan sekitar 8 orang penumpang di Kebon Nanas tadi. Saya pun berpindah tempat duduk karena bangku di sebelah Rina sudah kosong ditinggalkan. Kami yang sudah cukup lama tidak bertemu jadi punya waktu berbincang banyak selama perjalanan menuju Kalideres.
Panas begitu terasa terik ketika bus mulai memasuki kawasan Jakarta Barat. Semua penumpang bercucuran keringat, tak terkecuali si sopir dan dua kondekturnya. Kanan kiri jalan penuh berjajar industri dan ruko komersial. Sungai Cisadane membentang sepanjang jalan. Airnya tidak lagi bening. Saya yakin tak akan ada yang mau bersentuhan langsung dengan airnya.
Bus mulai melaju tersendat- sendat. Di depan sana ada lampu merah. Semua kendaraan harus bersabar menunggu selama lampu menyala merah. Saya melihat sekeliling di dalam bus. Ternyata penumpang bus sudah semakin sepi. Ada 3 orang laki- laki yang kelihatan seumuran duduk manis berjejer di bangku paling belakang. Dua bangku di depannya ada 2 orang ibu muda yang masing- masing membawa anak balita. Dan tak jauh dari bangku saya, ada seorang laki- laki berumur sekitar 20 tahunan yang duduk sendiri dan menatap keluar jendela. Satu kondektur bergelantungan di pintu depan bus. Satu yang lainnya duduk manis di samping sang supir. Salah satu dari balita yang dibawa 2 ibu muda tadi tiba- tiba menangis. Mungkin balita tersebut mulai merasakan ketidaknyamanan akibat hawa panas yang terasa. Kalau saya masih balita pun saya rasa saya pun akan menangis begitu. Sang ibu sibuk mengipasi anaknya dengan kipas yang ia bawa. Sungguh indah pemandangan itu. 2 ibu muda itu pun turun bersama di pertigaan menuju Bandara Soekarno Hatta.
Bus pun hampir sampai di tempat tujuan akhirnya, yaitu terminal Kalideres. Tetapi saya akan turun sebelum terminal, yaitu di halte Semanan. Halte Semanan letaknya hanya beberapa puluh meter dari terminal Kalideres. Dengan turun di sini, saya akan lebih mudah mencari angkutan menuju Cengkareng. Setelah menurunkan saya dan Rina di halte Semanan, bus langsung melaju kencang menuju pemberhentian terakhirnya. Kami pun tak mau kalah. Kami berjalan cepat untuk menuju sebuah pasar dimana di sana banyak angkutan umum yang berbaris menunggu penumpang jurusan Semanan, Duri Kosambi, Cengkareng dan sekitarnya.
Di pasar yang oleh penduduk sekitar sana disebut pasar Hipli, saya mampir ke salah satu toko untuk membeli hadiah. Hadiah untuk adik saya yang bulan lalu berulang tahun. Untuk mengefektifkan waktu, saya tidak banyak memilih. Langsung ambil barang, minta dibungkus, bayar lalu segera pergi melanjutkan perjalanan.
Sekarang kami akan menuju sebuah daerah di kelurahan Duri Kosambi. Lebih tepatnya di jalan Hj. Selong. Di sana terdapat sebuah asrama tempat dua adik saya menuntut ilmu. Inilah yang dimaksud misi oleh ibu saya. Saya harus datang kesana untuk mengantarkan bekal dana dan makanan 2 adik saya selama seminggu ke depan.
Untuk menuju kesana, pertama saya harus naik angkutan menuju pertigaan ABC, lalu naik angkutan lagi ke arah Cengkareng kota. Sebenarnya ada angkutan yang bisa langsung menuju Cengkareng kota, hanya saja angkutan jenis tersebut terbilang jarang dan justru memakan waktu lama karena baru akan berangkat setelah angkutan terisi cukup penuh. Saya pun memutuskan untuk mencari angkutan tujuan pertigaan ABC lebih dulu.
Saya dan Rina sudah mendapat angkutan, tapi angkutan kami tidak bergerak sedikitpun. Jalan raya di depan pasar Hipli macet parah. Jalan yang sempit dan rusak saya rasa menjadi penyebabnya. Ditambah dengan kuota kendaraan yang jumlahnya sudah puluhan. Angkutan kami baru bisa bergerak setelah sekitar 15 menit kemudian. Di pinggiran Jakarta pun tidak lepas dari kemacetan.
Angkutan kami melaju tidak terlalu kencang. Karena memang kondisi jalanan yang ramai memaksanya untuk tidak mengebut. Oia, saya ingin bercerita tentang bentuk angkutan yang saya naiki ini. Angkutan ini merupakan angkutan khusus yang menyediakan layanan trayek pasar Hipli dan pertigaan ABC, tapi angkutan ini tidak terlihat seperti angkutan umum pada umumnya. Angkutan ini menggunakan mobil jenis Carry dan sejenisnya untuk melayani penumpang. Jadi, kalau dilihat dari luar hanya seperti mobil pribadi yang mengangkut penumpang sekeluarga. Tidak ada plang penanda tujuan angkutan ataupu pintu mobil yang terbuka. Saya rasa, angkutan semacam ini yang sudah beroperasi di Semanan jumlahnya sekitar 20 angkutan. Sebagai info, ongkos dari pasar Hipli menuju pertigaan ABC adalah Rp. 2500, 00.
Dari pertigaan ABC, kami dengan mudah mendapat angkutan jurusan Cengkareng Kota. Hanya 5 menit perjalanan, kami sudah sampai di depan gang jalan H.Selong. kami melangkahkan kaki dengan agak terburu- buru menuju asrama karena panas terik yang sangat menyengat. Apalagi ketika kami melewati lapangan sepakbola dan kawasan persawahan yang kelihatannya kekeringan, kami makin berjalan cepat
Mission Complete! Misi sudah dilaksanakan. Dan sekarang adalah waktunya untuk ke tempat yang dari awal direncanakan. Cengkareng. Dari depan gang jalan H. Selong tadi, banyak angkutan menuju Cengkareng kota. Kami pun memilih angkutan berwarna merah dengan tujuan trayek Kalideres- Kebon Jeruk. Angkutan tersebut penuh penumpang. Kami semua harus duduk agak berdempet- dempetan. Saya semobil dengan seorang ibu yang senang sekali bercerita. Walau dia tak kenal dengan orang- orang di dalam angkutan tersebut, dengan santainya ia bercerita tentang kondisi jalan di kawasan yang kami lewati. Menurut keterangannya, sedang ada pekerjaan pengecoran jalan raya Petir yang membuat arus kendaraan yang menuju Cengkareng kota atau sebaliknya harus memutar melalui sebuah komplek perumahan. Ternyata ini sebabnya mengapa waktu tempuh perjalanan bertambah.
Kami tiba di Cengkareng kota, lebih tepatnya di Plaza Cengkareng ketika jam menunjukkan pukul 13.00. Suasana hiruk pikuk di tengah hari Minggu itu benar- benar terasa. Orang- orang berseliweran tanpa henti menuju tempat tujuan masing- masing. Kendaraan roda empat dan roda dua pun tak mau kalah. Bus Trans Jakarta, Kopaja, angkutan kota, mikrolet, mobil pribadi hingga motor ikut meramaikan suasana siang kala itu. Berada di tengah- tengah itu semua membuat saya merasa kecil. Apalagi ketika saya harus menyebrang jalan. Melihat ke arah kendaraan yang ukurannya lebih besar itu berbaris rapi menunggu lampu hijau menyala, rasanya saya siap terlumat habis oleh keperkasaan mesin- mesin mereka ketika mereka mulai melaju.
Saya dan Rina berdiri di depan Plaza Cengkareng. Melihat jajaran toko- toko yang rasanya bertambah banyak semenjak terakhir kali kami kemari. Saya melirik jam di tangan saya. Jam jelas sudah menunjukkan jam makan siang, mengisyaratkan bagi perut untuk segera diisi. Saya memutar pandangan ke sekeliling. Selain toko- toko baju bertambah, nampaknya kedai- kedai makanan juga bertambah. Anda tinggal pilih mau makan apa. Bakso urat, Soto Kudus, Masakan Padang dan Soto Tangkar adalah beberapa pilihan dari banyak kedai yang berjajar. Kami memutuskan untuk melangkahkan kaki ke arah kedai bertuliskan Soto Tangkar khas Bogor.
Setelah disambut ramah oleh sang empunya, yang selanjutnya saya ketahui bernama Yono, kami langsung memesan 2 porsi Soto Tangkar. Sambil Pak Yono membuatkan kami Soto Tangkar, kami berbincang. Mengapa disebut Soto Tangkar? Saya sendiri memilih kedai Soto Tangkar karena di depan kedai ini tertulis Soto Tangkar khas Bogor. Saya penasaran dengan kata “ khas Bogor “. Karena sebagai orang yang berasal dari Bogor, saya baru pertama kali mendengar ada makanan bernama Soto Tangkar.
Dengan senang hati Pak Yono menjawab, “ Tangkar itu artinya daging sapi, Neng. Soalnya isian di Soto Tangkar itu ya daging sapi. Lebih khususnya daging di kepalanya “. Lalu apa yang membedakannya dengan soto- soto lain? “ Pada dasarnya mah sama. Cuma ya isiannya itu yang beda. Biasanya sih soto tangkar itu bening. Tidak berwarna kuning. Tapi sekarang, ada saja yang bikin soto tangkar warna kuahnya kuning “. Saya mengangguk- mengangguk mendengar Pak Yono bicara. Rasanya jadi ingin segera mencicipi Soto Tangkar itu.
Dan akhirnya satu porsi Soto Tangkar berada di hadapan saya. Setelah membaca doa, saya langsung melahapnya dengan semangat. Selain karena lapar, didorong juga oleh cerita si pemilik. Dan ternyata, rasa Soto Tangkar itu berbeda dengan soto lain yang pernah saya cicipi. Saya bukan ahli kuliner yang bisa mengomentari suatu masakan, tapi yang saya rasakan bahwa soto ini punya rasa yang tidak kuat sehingga tidak membuat lidah gatal. Sejujurnya saya bukan penyuka soto, tapi untuk soto yang satu ini, saya akan jadi pelanggan.
Ketika saya bertanya, benarkah soto tangkar berasal dari Bogor? Beliau menjawab mantap “ Iya! “. Hal tersebut membuat saya sadar bahwa ternyata saya belum cukup baik untuk mengenal kuliner asal kota kelahiran saya sendiri. Jika sempat mampir di daerah Cengkareng, cobalah untuk makan siang disini. Selesai makan dan bayar, kami berjalan menuju kawasan dalam Plaza.
Kawasan dalam Plaza Cengkareng sebagian besar diisi oleh salah satu perusahaan retail besar di Indonesia, dimana di setiap kawasan di Indonesia, perusahaan tersebut sudah punya cabang yang tidak sedikit. Ternyata saya dan sahabat saya datang kesana di waktu yang tepat. Sedang ada diskon untuk semua produk. Kesempatan bagus untuk sekedar bisa membawa buah tangan ke rumah.
Pukul 16.00 kami selesai dengan aktifitas belanja kami. Rasanya sudah waktunya kami pulang. Sudah cukup menarik bagi kami bertemu dengan ibu yang sangat murah hati berbagi cerita di angkutan umum dan penjual soto Tangkar yang murah senyum. Dan tak ketinggalan, harga murah dari barang- barang yang kami borong. Kami kembali menuju halte Semanan untuk mencari bus seperti kami berangkat di awal.
Selagi menunggu bus di bawah lindungan pohon yang rindang, kami berdiri berdekatan dengan seseorang yang berpenampilan seperti musisi, lebih tepatnya musisi jalanan. Kami saling menanyakan tujuan kami. Tentu saja kami jawab hendak ke Curug. Sedangkan dia memang mangkal disini. Dari jawaban itu ternyata kami bertiga malah jadi mengobrolkan banyak hal selama menunggu bus.
Kalideres memang salah satu tempat strategis yang bisa menjadi lahan pekerjaan. Kawasan terminal yang tak pernah sepi dari lalu lalang manusia jelas menjadi target utama bagi sang empunya usaha. Pedagang asongan, tukang parkir hingga pengamen mudah kita temui. Hal tersebut hanya merupakan usaha untuk bisa mencari makan. Hal itulah yang diceritakan Teuku, sang musisi jalanan pada saya dan Rina. “ Jaman sekarang susah cari pekerjaan, apalagi saya perantau yang tidak kenal siapa- siapa disini “.
Sesuai dengan namanya, Teuku memang berasal dari Aceh. Penyebab Teuku bisa terdampar di kota Jakarta adalah karena bencana Tsunami yang 5 tahun lalu melanda Aceh. “ Saya salah satu korbannya lho, Mbak! Saya kehilangan semuanya, kecuali kakak laki- laki saya”. Dia ikut ke Jakarta bersama orang yang hendak menjadikannya anak asuh. Tapi sayangnya, Teuku mendapat orang tua asuh yang kurang baik sehingga dia memilih untuk hidup sendiri saja dengan kakak laki- lakinya. “ Jadinya saya kerja beginian deh! “, ucapnya santai sambil mengayunkan gitar yang dibawanya.
Saya melihat sekeliling. Melihat beberapa orang yang menjadi rekan seprofesi Teuku. Satu persatu mereka menaiki bus yang lewat di depannya. Beberapa waktu kemudian, mereka kembali dari arah sebaliknya dengan bus yang berbeda. Pasti itu proses yang mereka lakukan untuk melakukan pekerjaan ngamen-nya. Bisa jadi mereka bertemu dengan penumpang yang amat murah hati atau mungkin bertemu dengan penumpang yangbermuka masam. Semua tetap mereka lawan hanya untuk mendapat sesuap nasi. Hal tersebut bermunculan di benak saya kala itu.
Menurut keterangan Teuku, selama ini sebagai korban Tsunami ia tidak pernah mendapat bantuan apa- apa dari pemerintah. Ia mendapat bantuan justru dari kerjasamanya dengan kawan- kawan sepenanggungan. “ susahlah kalau ngomongin pemerintah mah “, ucapnya tak semangat, “ Dekat sama kita kalau lagi Pemilu doang “. Tak disangka, ada perkataan seperti itu keluar dari mulut musisi jalanan.
Sekitar pukul 17.00, kami berpisah dengan Teuku karena bus yang kami tunggu- tunggu akhirnya lewat juga. Kami mendapat bangku kedua di belakang bangku supir. Cukup nyaman untuk melihat sekeliling yang mulai gelap. Hari memang sudah menjelang petang. Matahari perlahan- lahan berpamitan pulang ke peraduannya. Tetapi tidak membuat jalanan sepi oleh lalu lalang kendaraan atau manusia. Malah rasanya makin ramai saja.
Dunia jalanan memang menarik. Keras namun juga menjanjikan. Banyak hal yang bisa kita temui di jalanan. Betapa orang- orang dengan berbagai kepentingan bertemu di satu tempat dan saling mengejar tujuan masing- masing.
Sungguh perjalanan yang menarik. mendapat kesempatan untuk bertemu orang- orang yang tidak pernah kita sangka sebelumya. Walau saya tidak bisa sampai ke Bali atau Lombok untuk travelling. Rasanya tidak kalah seru juga ber-travelling ria di kawasan sendiri. Banyak cerita di jalanan antara Cengkareng dan Curug.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar