Oleh : Ninis Chairunnisa
Musik dan lagu merupakan hal yang tidak dapat lepas dari hidup kita. Alunan nada dan lantunan liriknya mampu membawa kita ke dalam dunia yang tidak pernah kita datangi. Industri musik pun berkembang pesat pada era tahun 2000-an. Musisi- musisi baru bermunculan bak jamur di musim hujan. Masing- masing membawa genre berbeda yang memberi warna baru dalam dunia musik Indonesia. Ada yang muncul berarti ada juga yang tenggelam. 10 tahun belakangan ini, menjadi masa dimana lagu ber-genre anak- anak tengah menghilang dari peredaran musik Indonesia. Kemanakah mereka?
Di tahun 80-an hingga 90-an bisa dibilang keemasan lagu anak-anak. Hampir setiap hari ada acara TV dan radio yang menyuguhkan lagu anak-anak. Di tahun 1980-an banyak penyanyi anak-anak yang cukup terkenal seperti Adi Bing Slamet, Ira Maya Sopha, Chica Koeswoyo dan Yoan Tanamai. Tahun 1990-an, penyanyi seperti Joshua, Cindy Cenora, Chikita Meidi, Enno Lerian, Leoni, Dea Ananda dan banyak lagi turut meramaikan dunia musik anak kala itu. Semuanya memberi ikon masa kanak-kanak yang khas lewat lagu- lagunya yang bertema tentang persahabatan, pendidikan, kasih sayang ibu, sebuah harapan dan cita-cita. Dulu, Joshua yang imut amat berkibar dengan lagu “ Kapal Terbang “ yang bercerita bahwa ia ingin menjadi pandai seperti Pak Habibie yang bisa membuat pesawat terbang. Atau lagu “ Ayo Menabung”-nya Cindy Cenora yang mengajak anak- anak Indonesia untuk rajin menabung. Akan tetapi, lagu- lag semacam itu sekarang sudah pudar ditelan jaman yang makin berubah. Dunia musik kini didominasi oleh musisi- musisi dari grup band mainstream. Coba hitung berapa grup band baru yang .muncul belakangan tahun ini. Jumlahnya benar- benar menggempur keberlangsungan lagu anak- anak. Walhasil, anak- anak pun jadi tak berdaya ikut menikmati lagu yang sebenarnya untuk peruntukan orang dewasa. Mereka menjadi akrab dengan lagu- lagu tersebut dan mampu mendendangkannya seolah paham liriknya. Lagu- lagu mainstream yang kebanyakan mengangkat tema percintaan, pacaran, patah hati ataupun perselingkuhan menjadi raja di dunia musik. Siapapun yang menjadi penikmat musik akan berhadapan dengannya, termasuk anak- anak. Anak- anak dijajah oleh lagu yang bukan peruntukannya. Lagu mungkin termasuk persoalan sepele dibandingkan dengn persoalan pendidikan formal atau semacamnya. Tetapi nyatanya fenomena “ penjajahan lagu dewasa “ ini punya dampak yang tidak baik bagi perkembangan anak. Anak akan menjadi dewasa sebelum waktunya.
Jika kita perhatikan, fenomena penjajahan lagu dewasa terhadap anak- anak mulai terjadi ketika periode akhir tahun 90-an. Periode dimana para penyanyi cilik mulai beranjak remaja dan meninggalkan dunia musik anak. Sayangnya tidak terjadi regenerasi yang baik dari perkembangan musik anak sehingga selepas periode Joshua dan kawan- kawan tidak muncul lagi penyanyi- penyanyi cilik yang booming. Akhirnya lagu anak- anak pun tenggelam. Ya, tidak adanya regenerasi bisa kita anggap salah satu penyebab tidak bertahannya lagu anak. Tidak ada lagi sosok idola bagi anak- anak Indonesia yang bisa mengajaknya berdendang bersama dan berkreatifitas dalam bidang musik. Diakui bahwa penyanyi cilik sekarang ini jumlahnya amat minim sehingga produksi lagu anak pun ikut minim. Kalaupun ada penyanyi cilik, nyatanya ia tidak akan mampu bertahan lama karena jaman yang tidak lagi berpihak.
Selain itu, permintaan pasar yang tengah berkiblat pada musik- musik band mainstream kian mematikan dunia musik anak. Permintaan pasar kini menjadi hal yang paling diutamakan oleh para pelaku industri musik. Ketika yang tengah digandrungi masyarakat adalah lagu- lagu genre pop melayu, maka musisi- musisi pun berlomba mengarah kesana. Tentu saja ini adalah tuntutan label yang menaungi si musisi. Dengan kata lain, sangat sedikit sekali label musik yang mau menaruh perhatian pada musik anak karena pasar tengah berkiblat genre pop melayu, aliran musik mendayu- dayu dengan lirik syahdu. Terlebih lagi, acara- acara musik di televisi kini pun sama sekali tidak ada yang menyentuh lagi musik anak. Kalaupun ada, hanya sebuah kamuflase karena pada akhirnya lagi- lagi unsur musik dewasa yang ada. Acara musik yang rajin disiarkan oleh stasiun televisi dari pagi, siang hingga malam hanya bergenre dewasa dan mengejar rating semata. Anak pun tak punya pilihan sehingga harus menerima boombardir dari lagu dewasa yang menyerangnya. Siapa yang tidak kenal lagu C.I.N.T.A-nya D’Bagindas?
Fenomena ini tak luput dari peran media. Media jelas menjadi salah satu alat yang paling berperan dalam mengenalkan lagu dewasa ke dalam benak anak. Medialah yang banyak menayangkan dan memutar lagu- lagu dewasa setiap waktu. Anak- anak menjadi kekurangan program acara yng sesuai dengan umurnya. Jadi, jika kita menemui banyak anak yang berdendang bahkan hafal lagu dewasa, hal tersebut adalah bukanlah fenomena yang asing lagi. Sepertinya banyak orang tua yang luput memberikan perhatian bagi anak- anaknya sehingga anak tercekoki oleh hal- hal yang belum saatnya ia rasakan.
Patut kita sadari, membiarkan anak-anak membawakan lagu-lagu bertema asmara dan cinta-cintaan akan membawa banyak konsekuensi logis bagi mereka. Pertama, jangkauan (ambitus) vokal anak-anak tentu sangat berbeda dengan orang dewasa. Lagu anak biasanya memiliki tingkat satu oktaf, sedangkan lagu dewasa umumnya adalah dua oktaf. Ketika mereka menyanyikan lagu percintaan yang notabene lagu orang dewasa, suara mereka akan cenderung sumbang karena tidak mampu menjangkau nada tinggi atau rendah dengan baik sehingga terkesan dipaksakan. Bahkan ternyata ada penyakit yang bisa muncul jika anak terus menerus menyanyikan lagu dewasa yang oktafnya tingi, yaitu penyakit bromer atau suara kaku.
Kedua, anak- anak belum atau bahkan tidak akan mampu dalam menghayati tema lagu yang dibawakannya karena mereka belum pernah mengalami masa dewasa dengan mengenal apa yang namanya cinta, perselingkuhan ataupun patah hati. Dengan kata lain, pada dasarnya tidak ada artinya anak menyanyikan lagu dewasa karena mereka sama sekali tidak paham arti liriknya. Malah justru lirik yang tidak dipahaminya memberi pengaruh yang tidak baik. Anak hanya mengartikan menurut pemahamannya sendiri lirik lagu yang didengarnya tanpa tahu arti sebenarnya. Kata seperti pacaran atau selingkuh mereka dengar. Apakah pantas anak mendengar kata semacam itu dalam lagu yang dinikmatinya? Anak hanya akan dewasa sebelum waktunya. Selayaknya anak pada masanya mengenal dunia persahabatan antara ia dan kawannya ataupun keindahan alam ciptaan Tuhan, tapi ia justru harus berkutat dengan masalah pacaran, hubungan antara laki- laki dan perempuan ataupun permasalahan sakit hati karena cinta. Para orang tua seharusnya gerah dengan semua ini dan segera bertindak.
Fenomena ini sudah terlanjur terjadi. Kini adalah saatnya bagi kita untuk dapat meminimalisir efek atau dampak buruk dari fenomena ini. Anak- anak harus segera dinetralisir melalui pengenalan lagu- lagu yang sesuai usianya. Peran orang tua dan sekolah sangat dominan untuk mengajak anak mengenal dunia yang benar- benar dunianya. Anak harus sering diberi suguhan lagu wajib atau lagu daerah. Tentu saja dengan cara- cara yang mudah dan disukai anak. Mengurangi intensitas anak dalam menonton televisi berarti membantu anak untuk mengurangi intensitasnya mendengarkan lagu dewasa. Caranya anak bisa diajak melakukan aktifitas lain di luar rumah di bawah pengawasan orang tua. Bagi media pun selayaknya bisa memberi sedikit perhatian terhadap perkembangan dunia anak. Jika satu media berhasil membumikan lagi lagu anak, rasanya bukan hal yang tidak mungkin media lain mengikuti. Artinya, lagu anak harus dinaikan lagi pamornya. Selama anak- anak masih ada, rasanya hampir tidak mungkin lagu anak akan tidak ada pendengarnya.
Jika ingin memiliki generasi yang baik, kita harus menggunakan tinta emas untuk menggoreskan catatan yang baik bagi hidupnya kelak. Anak- anak harus tumbuh sesuai dengan usianya.
Jika kita perhatikan, fenomena penjajahan lagu dewasa terhadap anak- anak mulai terjadi ketika periode akhir tahun 90-an. Periode dimana para penyanyi cilik mulai beranjak remaja dan meninggalkan dunia musik anak. Sayangnya tidak terjadi regenerasi yang baik dari perkembangan musik anak sehingga selepas periode Joshua dan kawan- kawan tidak muncul lagi penyanyi- penyanyi cilik yang booming. Akhirnya lagu anak- anak pun tenggelam. Ya, tidak adanya regenerasi bisa kita anggap salah satu penyebab tidak bertahannya lagu anak. Tidak ada lagi sosok idola bagi anak- anak Indonesia yang bisa mengajaknya berdendang bersama dan berkreatifitas dalam bidang musik. Diakui bahwa penyanyi cilik sekarang ini jumlahnya amat minim sehingga produksi lagu anak pun ikut minim. Kalaupun ada penyanyi cilik, nyatanya ia tidak akan mampu bertahan lama karena jaman yang tidak lagi berpihak.
Selain itu, permintaan pasar yang tengah berkiblat pada musik- musik band mainstream kian mematikan dunia musik anak. Permintaan pasar kini menjadi hal yang paling diutamakan oleh para pelaku industri musik. Ketika yang tengah digandrungi masyarakat adalah lagu- lagu genre pop melayu, maka musisi- musisi pun berlomba mengarah kesana. Tentu saja ini adalah tuntutan label yang menaungi si musisi. Dengan kata lain, sangat sedikit sekali label musik yang mau menaruh perhatian pada musik anak karena pasar tengah berkiblat genre pop melayu, aliran musik mendayu- dayu dengan lirik syahdu. Terlebih lagi, acara- acara musik di televisi kini pun sama sekali tidak ada yang menyentuh lagi musik anak. Kalaupun ada, hanya sebuah kamuflase karena pada akhirnya lagi- lagi unsur musik dewasa yang ada. Acara musik yang rajin disiarkan oleh stasiun televisi dari pagi, siang hingga malam hanya bergenre dewasa dan mengejar rating semata. Anak pun tak punya pilihan sehingga harus menerima boombardir dari lagu dewasa yang menyerangnya. Siapa yang tidak kenal lagu C.I.N.T.A-nya D’Bagindas?
Fenomena ini tak luput dari peran media. Media jelas menjadi salah satu alat yang paling berperan dalam mengenalkan lagu dewasa ke dalam benak anak. Medialah yang banyak menayangkan dan memutar lagu- lagu dewasa setiap waktu. Anak- anak menjadi kekurangan program acara yng sesuai dengan umurnya. Jadi, jika kita menemui banyak anak yang berdendang bahkan hafal lagu dewasa, hal tersebut adalah bukanlah fenomena yang asing lagi. Sepertinya banyak orang tua yang luput memberikan perhatian bagi anak- anaknya sehingga anak tercekoki oleh hal- hal yang belum saatnya ia rasakan.
Patut kita sadari, membiarkan anak-anak membawakan lagu-lagu bertema asmara dan cinta-cintaan akan membawa banyak konsekuensi logis bagi mereka. Pertama, jangkauan (ambitus) vokal anak-anak tentu sangat berbeda dengan orang dewasa. Lagu anak biasanya memiliki tingkat satu oktaf, sedangkan lagu dewasa umumnya adalah dua oktaf. Ketika mereka menyanyikan lagu percintaan yang notabene lagu orang dewasa, suara mereka akan cenderung sumbang karena tidak mampu menjangkau nada tinggi atau rendah dengan baik sehingga terkesan dipaksakan. Bahkan ternyata ada penyakit yang bisa muncul jika anak terus menerus menyanyikan lagu dewasa yang oktafnya tingi, yaitu penyakit bromer atau suara kaku.
Kedua, anak- anak belum atau bahkan tidak akan mampu dalam menghayati tema lagu yang dibawakannya karena mereka belum pernah mengalami masa dewasa dengan mengenal apa yang namanya cinta, perselingkuhan ataupun patah hati. Dengan kata lain, pada dasarnya tidak ada artinya anak menyanyikan lagu dewasa karena mereka sama sekali tidak paham arti liriknya. Malah justru lirik yang tidak dipahaminya memberi pengaruh yang tidak baik. Anak hanya mengartikan menurut pemahamannya sendiri lirik lagu yang didengarnya tanpa tahu arti sebenarnya. Kata seperti pacaran atau selingkuh mereka dengar. Apakah pantas anak mendengar kata semacam itu dalam lagu yang dinikmatinya? Anak hanya akan dewasa sebelum waktunya. Selayaknya anak pada masanya mengenal dunia persahabatan antara ia dan kawannya ataupun keindahan alam ciptaan Tuhan, tapi ia justru harus berkutat dengan masalah pacaran, hubungan antara laki- laki dan perempuan ataupun permasalahan sakit hati karena cinta. Para orang tua seharusnya gerah dengan semua ini dan segera bertindak.
Fenomena ini sudah terlanjur terjadi. Kini adalah saatnya bagi kita untuk dapat meminimalisir efek atau dampak buruk dari fenomena ini. Anak- anak harus segera dinetralisir melalui pengenalan lagu- lagu yang sesuai usianya. Peran orang tua dan sekolah sangat dominan untuk mengajak anak mengenal dunia yang benar- benar dunianya. Anak harus sering diberi suguhan lagu wajib atau lagu daerah. Tentu saja dengan cara- cara yang mudah dan disukai anak. Mengurangi intensitas anak dalam menonton televisi berarti membantu anak untuk mengurangi intensitasnya mendengarkan lagu dewasa. Caranya anak bisa diajak melakukan aktifitas lain di luar rumah di bawah pengawasan orang tua. Bagi media pun selayaknya bisa memberi sedikit perhatian terhadap perkembangan dunia anak. Jika satu media berhasil membumikan lagi lagu anak, rasanya bukan hal yang tidak mungkin media lain mengikuti. Artinya, lagu anak harus dinaikan lagi pamornya. Selama anak- anak masih ada, rasanya hampir tidak mungkin lagu anak akan tidak ada pendengarnya.
Jika ingin memiliki generasi yang baik, kita harus menggunakan tinta emas untuk menggoreskan catatan yang baik bagi hidupnya kelak. Anak- anak harus tumbuh sesuai dengan usianya.
Idiih..Ninis kan tahun 80-an belom lahir? hee..
BalasHapushahahahaha,,
BalasHapusudah ada internet mah berasa idup sepanjang abad paaap,,
komen trus di blog kami ya pap,,