Oleh : Fajri Ibnu Susanto
Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi kota Padang, Sumatera Bara ditemani tiga teman yang kebetulan sama-sama menempuh pendidikan di kampus yang sama. Kami berkunjung ke Padang untuk mengahadiri milad IMIKI (Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi) ke-12. Kami mendapat dispensasi untuk mengikuti acara ini dari pihak kampus.
Siapa yang tak kenal dengan kota ‘masakan’ ini? Pada pertengahan tahun 2009 silam, kota Padang menjadi sorotan utama masyarakat Indonesia karena gempa maha dahsyat mengguncang kota dan sekitarnya yang menimbulkan banyak korban berjatuhan.
Dengan bermodalkan almamater, kami pun berangkat dengan menggunakan jalur udara dari terminal penerbangan Soekarno-Hatta Jakarta menuju Padang. Lalu kami tiba di Bandara Minangkabau pukul 13.45 setelah mengudara sekitar 1,5 jam.
Bandar udara Minangkabau memiliki luas total 4.27 km², dengan satu buah runway, serta memiliki satu bangunan terminal untuk penerbangan Internasional dan Domestik. Bandar udara ini diberi nama Minangkabau sesuai dengan nama suku yang mendiami provinsi ini, dan merupakan bandar udara pertama di dunia yang memiliki nama sebuah suku atau etnis. (Wikipedia.com)
Satu jam kami menunggu penjemputan dari pihak panitia yang kebetulan adalah beberapa dari mahasiswa Universitas Andalas. Setelah itu kami digiring ke penginapan, yang berupa wisma sederhana yang terletak di tengah kota. Dari bandara di tempuh satu jam perjalanan untuk sampai ke penginapan. Disini saya bertemu dengan mahasiswa ilmu komunikasi dari seluruh Indonesia.
Wisma yang terletak di jalan Bay Pass Padang adalah bekas asrama sekaligus tempat pelatihan untuk Sekolah Teknik Menengah di kota Padang. Posisinya sangat unik karena berada di pertengahan sawah yang hijau. Pemandangan yang tidak akan terlihat di kota Jakarta. Tempat ini sangat cocok untuk melepas lelah perjalanan dari Jakarta, untuk mengikuti kegiatan-kegiatan di keesokan harinya.
Malam pertama kami disambut dengan cuaca yang kurang baik, hujan badai dan gempa bumi dengan skala kecil. Saya panik karena sedang berada dilantai dua. Memang sering terjadi gempa-gempa kecil, karena secara letak geografis Padang adalah salah satu kota yang dilewati oleh jalur pegunungan Mediterania.
Tiga hari di Padang adalah acara inti dari milad IMIKI. Rentetan acara sudah disiapkan oleh pihak panitia yang berlokasi di aula PKM universitas Andalas. Di antaranya, lomba debat antar unversitas, seminar nasional, talk show, dll.
Universitas Andalas sendiri adalah perguruan tinggi negeri di Padang, Indonesia, yang berdiri pada 23 Desember 1955. Terletak di bukit Karamuntiang, yang sebelah baratnya berbatasan dengan pabrik PT. Semen Padang. Unand memiliki lokasi pembelajaran di Kampus Limau Manis yang luasnya mencapai 500 hektar.
Karena letaknya yang sangat luas dan tekstur tanahnya tidak merata, maka jarak antar gedung perkuliahannya sangat jauh dan dibutuhkan transpotasi ke setiap gedungnya. Kami harus mencuri-curi waktu untuk bisa menikmati moment yang tidak bisa saya nikmati di tempat lain. Seperti mengelilingi kampus Unand, mencicipi makanan khas yang disediakan di kantin-kantin tiap fakultas dan berfoto-foto untuk koleksi pribadi.
Saat mengelilingi kampus, kami didampingi oleh Fara. Seorang mahasiswi semester 5 jurusan ilmu komunikasi. Tujuan utamanya adalah gedung FISIP dan gedung perkuliahan anak-anak komunikasi. Kerena di sisi lain saya ingin membandingkan dengan kampus saya yang berada di Banten nan jauh di sana. Dengan berjalan kaki, kami mengunjungi satu per satu lokasi perkuliahan.
Rata-rata jalan yang kami lewati menanjak dan menurun. Pohon-pohon rindang menutupi trotoar-trotoar yang ada, hampir semuanya tertutupi. Suasana yang asri, tata letak dan bentuk bangunan yang unik menjadi pemandangan yang sangat menyejukan menjadi pemandangan yang sangat memanjakan .
Jika lelah, kami dapat menjumpai pedagang mobil jus dan kantin di setiap gedung perkuliahan. Sambil duduk di bukit kecil dapat menyaksikan laut sambil menikmati jus. Tertidur adalah hal yang wajar jika menikmati situasi seperti ini.
Kamis sore, hari ke-3 kami berada di tanah Minang. Setelah melewati acara demi acara, seluruh rombongan dari peserta IMIKI berkunjung mengelilingi kota Padang.
“Sekarang kita akan berkunjung ke pantai Taplau, sebelum itu kita akan melewati kota Padang. Nanti kita juga akan berbelanja dan mengunjungi monumen korban gempa”, ujar Ina mahasiswi konsentrasi humas Unand.
Perjalanan dari kampus menggunakan bus kampus menempuh jarak kurang lebih 30 kilometer. Sepanjang jalan masih banyak ditemukan bangunan-bangunan yang rata dengan tanah akibat gempa tahun 2009. Selain itu, kami juga melewati jembatan Siti Nurbaya dan Kampung Cina.
Satu jam perjalanan akhirnya seluruh rombongan sampai di Taplau. Sayang sekali karena ketika sampai, matahari sudah tidak menampakkan wujudnya lagi. Sebagian besar peserta rombongan merasa kecewa kerena tidak mendapat moment sunset. “Kalau masih sore, sekitar jam 5 lewat pasti disini sunset nya bagus. Banyak pemuda-pemudi yang pacaran disini” jelas Fara, membuat saya tambah menyesal.
Perjalanan berikutnya adalah berkunjung ke monumen korban gempa dan belanja oleh-oleh khas Padang “Kripik Balado” yang terletak di jalan Gereja. Kebetulan kedua tempat ini saling berdekatan, jadi setelah bus parkir di toko oleh-oleh lalu kami berjalan kaki ke monumen. Sekitar 100 meter, saling bersebrangan.
Satu dus seukuran gelas mineral saya bawa keluar dari toko. Untuk teman kontrakan, teman kelas dan keluarga di rumah. Panitia memilih toko Shirley untuk pembelian oleh-oleh. Padahal ada toko yang lebih terkenal bagi wisatawan domestik untuk berbelanja, seperti Christine Hakim.
Di monumen kami semua yang berada disana pada saat itu menyempatkan diri untuk berdoa bersama, mendoakan kepada para korban gempa. Kebetulan yang berkunjung hanya rombongan kami pada saat itu.
Monumen korban gempa diresmikan pada tanggal 30 September 2010. Tepat setahun setelah gempa yang melanda Padang terjadi. Monumen yang terbuat dari batuan alam yang dipahat itu diresmikan oleh Walikota Padang, DR. H. Fauzi Bahar. M.Si.
Setelah salat Jumat, hampir semua rombongan peserta telah pulang meninggalkan wisma. Rencana yang kami atur pada malam hari yaitu pergi ke Bukittinggi nampaknya akan menjadi hayalan belaka kerena Fara tidak berhasil menyiapkan mobil sewaan. Tapi setelah diusahakan, akhirnya Fara mendapatkannya, walau dengan harga lumayan tinggi Rp 400.000 per hari.
Dengan menyewa mobil, kami tidak perlu lagi menyewa penginapan pada saat di Bukittinggi nanti. Tas-tas besar pun bisa di simpan di mobil. Tidur bisa di masjid mana saja.
Pukul empat sore, rombongan kami pun berangkat ke Bukittinggi. Kerena hanya saya yang memliki SIM A, maka saya jadi sopirnya. Dengan minim pengalaman, saya pun memberanikan diri untuk hanya sekedar melihat Jam Gadang, Lembah Anai dan Ngarai Sianok. Persiapan konsumsi hanya membeli beberapa makanan ringan dan minuman mineral.
Jalur ke Bukittinggi adalah jalur yang ramai digandrungi oleh truk-truk besar dan bus luar kota. Saya sempat panik saat menyusul truk yang berjalan amat sangat lambat. Jalurnya terbilang sempit. Tapi rasa takut perlahan menghilang karena sepanjang perjalanan disuguhi oleh pemandangan-pemandangan cantik. Serupa dengan jalur Puncak, Bogor tapi berbeda. Sangat indah pemandangan, apalagi ketika jalur mulai naik turun layaknya naik wahana Halilintar di Dunia Fantasi.
Padang-Bukittinggi berjarak kurang lebih 110 KM, memerlukan waktu 2 jam lebih untuk sampai kesana. Ditengah perjalanan cuaca yang cerah menjadi mendung, entah karena memasuki dataran tinggi atau memang sedang cuaca buruk?
Pemandangan bekas-bekas longsor sering kami jumpai. Teringat berita saat mudik Ramadhan kemarin bahwa di daerah lembah Anai terjadi longsor yang mengakibatkan satu mobil sekeluarga tertimbun di dalamnya. Mengerikan. Kami terus berhati-hati dan berharap-harap cemas.
Baru sampai lembah Anai, maghrib pun tiba, saya mengurangi kecepatan. Berniat mencari-cari masjid di pinggir jalan, tetapi hanya tebing tinggi yang ada di sebelah kiri jalan dan jurang dalam yang ada di sebelah kanan. Sampai akhirnya menemukan sederet warung makan. Kami berhenti dan mencicipi Otak-otak Jagung. Makanan seperti Bakwan Jagung tapi ukuran kecil.“Oh, beda tempat, beda nama ya Ra?” canda saya ke Fara.
Lanjut beberapa kilometer dari lembah Anai, rombongan memasuki kota Padang Panjang. Kota pertama di Indonesia yang Pemerintahnya mengharamkan rokok. Tidak ada sponsor rokok, baliho rokok, iklan rokok bahkan warung yang menjual rokok di daerah tersebut. Kami pun beristirahat salat Maghrib di salah satu masjid di kota itu. Kota yang sejuk dan dingin, tidak kalah dinginnya dari Puncak, Bogor.
Tidak sampai satu jam dari Padang Panjang, kami pun sampai di kota Bukittinggi. Kota wisata di Sumatera Barat. Banyak tempat wisata di kota ini. Tempat tujuan utama adalah Jam Gadang. Pukul 20.00 kami parkir di depan Jam gadang.langsung mencari kafe untuk sekedar meluruskan urat-urat yang sempat tegang saat dalam perjalanan akibat minimnya pengalaman mengemudi saya.
Malam keempat di Sumbar. Akhirnya sampai juga di Bukittinggi. Sambil di temani kopi panas, kami pun bercerita. Malam itu sangat indah di kota wisata Bukittinggi.
Rio teman saya asal Surakarta mencoba menghubungi Oki mahasiswa Unand yang kebetulan tinggal di daerah ini. Oki datang, kami pun lega akhirnya ada penginapan yang layak. Di rumah Oki.
Pagi-pagi buta saat semua masih tertidur, kami suda siap untuk meninggalkan rumah Oki. Tujuan kita adalah Pasar Atas yang letaknya berdekatan dengan Jam Gadang. Disana menjual berbagai macam oleh-oleh berupa barang dan pernak-pernik khas Bukittinggi. Tetapi pasar baru di buka pukul 09.00, jadi sambil menunggu pasar buka, kami berolahraga di alun-alun Bukittinggi. Di alun-alun terdapat lapangan berserta podiumnya.
Di pasar atas terdapat berbagai macam ikan kering dan krupuk kulit ‘Jange’. Ikan khas danau Singkarak pun terdapat di pasar itu. Next trip adalah Lobang Jepang dan Ngarai Sianok.
Seakan dikejar waktu, karena sore hari harus berada di Padang, kami langsung beranjak ke tempat wisata Ngarai Sianok. Di Ngarai Sianok terdapat Lobang Jepang, bukti sejarah pendudukan Jepang yang masih tersisa hingga sekarang. Lubang gunung yang berdinding batu keras ini panjangnya puluhan meter di bahwa Jl. Raya Ngarai Sianok, memiliki rahasia dan keunikan tersendiri.
Dengan rongga berbentuk setengah lingkaran yang rata-rata tingginya sekitar dua meter itu, kecuali beberapa rongga yang memaksa para pengunjung membungkuk untuk melewatinya, gua ini dulunya memiliki fungsi strategis bagi serdadu Jepang untuk bersembunyi.
Pukul 12.00, setelah menelusuri Goa Jepang dan mengabadikan gambar di Ngarai Sianok, kami pulang ke Padang. Perjalanan ke Padang akan melewati lembah Anai, dimana di lembah tersebut terdapat air terjun yang berada persis d pinggir jalan raya Bukittinggi-Padang.
Air Terjun wisata yang dinamakan Air Mancur Lembah Anai yang berada di kawasan Lembah Anai di jalan raya Padang-Padang Panjang. Bukittinggi merupakan tempat wisata yang sering menjadi tempat persinggahan bagi wisatawan lokal, luar provinsi maupun mancanegara.
Banyak yang mengabadikan tempat tersebut dalam gambar. Menurut penjelasan Fara, daerah lembah anai merupakan kawasan rawan sekali terjadi longsor. Sudah berkali-kali terjadi longsor di daerah tersebut. Ditambah lagi setelah digoyang gempa bumi yang berkali-kali terjadi di wilayah Sumatera Barat. Terakhir adalah Gempa 30 September 2009 yang mungkin menjadikan wilayah tersebut semakin rapuh.
Satu jam kami menunggu penjemputan dari pihak panitia yang kebetulan adalah beberapa dari mahasiswa Universitas Andalas. Setelah itu kami digiring ke penginapan, yang berupa wisma sederhana yang terletak di tengah kota. Dari bandara di tempuh satu jam perjalanan untuk sampai ke penginapan. Disini saya bertemu dengan mahasiswa ilmu komunikasi dari seluruh Indonesia.
Wisma yang terletak di jalan Bay Pass Padang adalah bekas asrama sekaligus tempat pelatihan untuk Sekolah Teknik Menengah di kota Padang. Posisinya sangat unik karena berada di pertengahan sawah yang hijau. Pemandangan yang tidak akan terlihat di kota Jakarta. Tempat ini sangat cocok untuk melepas lelah perjalanan dari Jakarta, untuk mengikuti kegiatan-kegiatan di keesokan harinya.
Malam pertama kami disambut dengan cuaca yang kurang baik, hujan badai dan gempa bumi dengan skala kecil. Saya panik karena sedang berada dilantai dua. Memang sering terjadi gempa-gempa kecil, karena secara letak geografis Padang adalah salah satu kota yang dilewati oleh jalur pegunungan Mediterania.
Tiga hari di Padang adalah acara inti dari milad IMIKI. Rentetan acara sudah disiapkan oleh pihak panitia yang berlokasi di aula PKM universitas Andalas. Di antaranya, lomba debat antar unversitas, seminar nasional, talk show, dll.
Universitas Andalas sendiri adalah perguruan tinggi negeri di Padang, Indonesia, yang berdiri pada 23 Desember 1955. Terletak di bukit Karamuntiang, yang sebelah baratnya berbatasan dengan pabrik PT. Semen Padang. Unand memiliki lokasi pembelajaran di Kampus Limau Manis yang luasnya mencapai 500 hektar.
Karena letaknya yang sangat luas dan tekstur tanahnya tidak merata, maka jarak antar gedung perkuliahannya sangat jauh dan dibutuhkan transpotasi ke setiap gedungnya. Kami harus mencuri-curi waktu untuk bisa menikmati moment yang tidak bisa saya nikmati di tempat lain. Seperti mengelilingi kampus Unand, mencicipi makanan khas yang disediakan di kantin-kantin tiap fakultas dan berfoto-foto untuk koleksi pribadi.
Saat mengelilingi kampus, kami didampingi oleh Fara. Seorang mahasiswi semester 5 jurusan ilmu komunikasi. Tujuan utamanya adalah gedung FISIP dan gedung perkuliahan anak-anak komunikasi. Kerena di sisi lain saya ingin membandingkan dengan kampus saya yang berada di Banten nan jauh di sana. Dengan berjalan kaki, kami mengunjungi satu per satu lokasi perkuliahan.
Rata-rata jalan yang kami lewati menanjak dan menurun. Pohon-pohon rindang menutupi trotoar-trotoar yang ada, hampir semuanya tertutupi. Suasana yang asri, tata letak dan bentuk bangunan yang unik menjadi pemandangan yang sangat menyejukan menjadi pemandangan yang sangat memanjakan .
Jika lelah, kami dapat menjumpai pedagang mobil jus dan kantin di setiap gedung perkuliahan. Sambil duduk di bukit kecil dapat menyaksikan laut sambil menikmati jus. Tertidur adalah hal yang wajar jika menikmati situasi seperti ini.
Kamis sore, hari ke-3 kami berada di tanah Minang. Setelah melewati acara demi acara, seluruh rombongan dari peserta IMIKI berkunjung mengelilingi kota Padang.
“Sekarang kita akan berkunjung ke pantai Taplau, sebelum itu kita akan melewati kota Padang. Nanti kita juga akan berbelanja dan mengunjungi monumen korban gempa”, ujar Ina mahasiswi konsentrasi humas Unand.
Perjalanan dari kampus menggunakan bus kampus menempuh jarak kurang lebih 30 kilometer. Sepanjang jalan masih banyak ditemukan bangunan-bangunan yang rata dengan tanah akibat gempa tahun 2009. Selain itu, kami juga melewati jembatan Siti Nurbaya dan Kampung Cina.
Satu jam perjalanan akhirnya seluruh rombongan sampai di Taplau. Sayang sekali karena ketika sampai, matahari sudah tidak menampakkan wujudnya lagi. Sebagian besar peserta rombongan merasa kecewa kerena tidak mendapat moment sunset. “Kalau masih sore, sekitar jam 5 lewat pasti disini sunset nya bagus. Banyak pemuda-pemudi yang pacaran disini” jelas Fara, membuat saya tambah menyesal.
Perjalanan berikutnya adalah berkunjung ke monumen korban gempa dan belanja oleh-oleh khas Padang “Kripik Balado” yang terletak di jalan Gereja. Kebetulan kedua tempat ini saling berdekatan, jadi setelah bus parkir di toko oleh-oleh lalu kami berjalan kaki ke monumen. Sekitar 100 meter, saling bersebrangan.
Satu dus seukuran gelas mineral saya bawa keluar dari toko. Untuk teman kontrakan, teman kelas dan keluarga di rumah. Panitia memilih toko Shirley untuk pembelian oleh-oleh. Padahal ada toko yang lebih terkenal bagi wisatawan domestik untuk berbelanja, seperti Christine Hakim.
Di monumen kami semua yang berada disana pada saat itu menyempatkan diri untuk berdoa bersama, mendoakan kepada para korban gempa. Kebetulan yang berkunjung hanya rombongan kami pada saat itu.
Monumen korban gempa diresmikan pada tanggal 30 September 2010. Tepat setahun setelah gempa yang melanda Padang terjadi. Monumen yang terbuat dari batuan alam yang dipahat itu diresmikan oleh Walikota Padang, DR. H. Fauzi Bahar. M.Si.
Setelah salat Jumat, hampir semua rombongan peserta telah pulang meninggalkan wisma. Rencana yang kami atur pada malam hari yaitu pergi ke Bukittinggi nampaknya akan menjadi hayalan belaka kerena Fara tidak berhasil menyiapkan mobil sewaan. Tapi setelah diusahakan, akhirnya Fara mendapatkannya, walau dengan harga lumayan tinggi Rp 400.000 per hari.
Dengan menyewa mobil, kami tidak perlu lagi menyewa penginapan pada saat di Bukittinggi nanti. Tas-tas besar pun bisa di simpan di mobil. Tidur bisa di masjid mana saja.
Pukul empat sore, rombongan kami pun berangkat ke Bukittinggi. Kerena hanya saya yang memliki SIM A, maka saya jadi sopirnya. Dengan minim pengalaman, saya pun memberanikan diri untuk hanya sekedar melihat Jam Gadang, Lembah Anai dan Ngarai Sianok. Persiapan konsumsi hanya membeli beberapa makanan ringan dan minuman mineral.
Jalur ke Bukittinggi adalah jalur yang ramai digandrungi oleh truk-truk besar dan bus luar kota. Saya sempat panik saat menyusul truk yang berjalan amat sangat lambat. Jalurnya terbilang sempit. Tapi rasa takut perlahan menghilang karena sepanjang perjalanan disuguhi oleh pemandangan-pemandangan cantik. Serupa dengan jalur Puncak, Bogor tapi berbeda. Sangat indah pemandangan, apalagi ketika jalur mulai naik turun layaknya naik wahana Halilintar di Dunia Fantasi.
Padang-Bukittinggi berjarak kurang lebih 110 KM, memerlukan waktu 2 jam lebih untuk sampai kesana. Ditengah perjalanan cuaca yang cerah menjadi mendung, entah karena memasuki dataran tinggi atau memang sedang cuaca buruk?
Pemandangan bekas-bekas longsor sering kami jumpai. Teringat berita saat mudik Ramadhan kemarin bahwa di daerah lembah Anai terjadi longsor yang mengakibatkan satu mobil sekeluarga tertimbun di dalamnya. Mengerikan. Kami terus berhati-hati dan berharap-harap cemas.
Baru sampai lembah Anai, maghrib pun tiba, saya mengurangi kecepatan. Berniat mencari-cari masjid di pinggir jalan, tetapi hanya tebing tinggi yang ada di sebelah kiri jalan dan jurang dalam yang ada di sebelah kanan. Sampai akhirnya menemukan sederet warung makan. Kami berhenti dan mencicipi Otak-otak Jagung. Makanan seperti Bakwan Jagung tapi ukuran kecil.“Oh, beda tempat, beda nama ya Ra?” canda saya ke Fara.
Lanjut beberapa kilometer dari lembah Anai, rombongan memasuki kota Padang Panjang. Kota pertama di Indonesia yang Pemerintahnya mengharamkan rokok. Tidak ada sponsor rokok, baliho rokok, iklan rokok bahkan warung yang menjual rokok di daerah tersebut. Kami pun beristirahat salat Maghrib di salah satu masjid di kota itu. Kota yang sejuk dan dingin, tidak kalah dinginnya dari Puncak, Bogor.
Tidak sampai satu jam dari Padang Panjang, kami pun sampai di kota Bukittinggi. Kota wisata di Sumatera Barat. Banyak tempat wisata di kota ini. Tempat tujuan utama adalah Jam Gadang. Pukul 20.00 kami parkir di depan Jam gadang.langsung mencari kafe untuk sekedar meluruskan urat-urat yang sempat tegang saat dalam perjalanan akibat minimnya pengalaman mengemudi saya.
Malam keempat di Sumbar. Akhirnya sampai juga di Bukittinggi. Sambil di temani kopi panas, kami pun bercerita. Malam itu sangat indah di kota wisata Bukittinggi.
Rio teman saya asal Surakarta mencoba menghubungi Oki mahasiswa Unand yang kebetulan tinggal di daerah ini. Oki datang, kami pun lega akhirnya ada penginapan yang layak. Di rumah Oki.
Pagi-pagi buta saat semua masih tertidur, kami suda siap untuk meninggalkan rumah Oki. Tujuan kita adalah Pasar Atas yang letaknya berdekatan dengan Jam Gadang. Disana menjual berbagai macam oleh-oleh berupa barang dan pernak-pernik khas Bukittinggi. Tetapi pasar baru di buka pukul 09.00, jadi sambil menunggu pasar buka, kami berolahraga di alun-alun Bukittinggi. Di alun-alun terdapat lapangan berserta podiumnya.
Di pasar atas terdapat berbagai macam ikan kering dan krupuk kulit ‘Jange’. Ikan khas danau Singkarak pun terdapat di pasar itu. Next trip adalah Lobang Jepang dan Ngarai Sianok.
Seakan dikejar waktu, karena sore hari harus berada di Padang, kami langsung beranjak ke tempat wisata Ngarai Sianok. Di Ngarai Sianok terdapat Lobang Jepang, bukti sejarah pendudukan Jepang yang masih tersisa hingga sekarang. Lubang gunung yang berdinding batu keras ini panjangnya puluhan meter di bahwa Jl. Raya Ngarai Sianok, memiliki rahasia dan keunikan tersendiri.
Dengan rongga berbentuk setengah lingkaran yang rata-rata tingginya sekitar dua meter itu, kecuali beberapa rongga yang memaksa para pengunjung membungkuk untuk melewatinya, gua ini dulunya memiliki fungsi strategis bagi serdadu Jepang untuk bersembunyi.
Pukul 12.00, setelah menelusuri Goa Jepang dan mengabadikan gambar di Ngarai Sianok, kami pulang ke Padang. Perjalanan ke Padang akan melewati lembah Anai, dimana di lembah tersebut terdapat air terjun yang berada persis d pinggir jalan raya Bukittinggi-Padang.
Air Terjun wisata yang dinamakan Air Mancur Lembah Anai yang berada di kawasan Lembah Anai di jalan raya Padang-Padang Panjang. Bukittinggi merupakan tempat wisata yang sering menjadi tempat persinggahan bagi wisatawan lokal, luar provinsi maupun mancanegara.
Banyak yang mengabadikan tempat tersebut dalam gambar. Menurut penjelasan Fara, daerah lembah anai merupakan kawasan rawan sekali terjadi longsor. Sudah berkali-kali terjadi longsor di daerah tersebut. Ditambah lagi setelah digoyang gempa bumi yang berkali-kali terjadi di wilayah Sumatera Barat. Terakhir adalah Gempa 30 September 2009 yang mungkin menjadikan wilayah tersebut semakin rapuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar